Tinjauan Islam dan Kristen: Bernyanyi di Karaoke Bolehkah?

Bernyanyi di karaoke bolehkah? Dalam Tinjauan Islam dan Kristen

Tinjauan Agama Islam
Assalamu'alaikum Wr Wb
Ustad, saya baru pertama kali ke tempat karaoke keluarga yang banyak kita jumpai sekarang ini. Setelah itu saya merasa ingin lagi ke tempat karaoke keluarga, saya jadi merasa ketagihan, karena memang saya suka dan sering bernyanyi.

Tapi sampai saat ini saya masih ragu untuk ke tempat karaoke lagi karena saya takut itu merupakan hal yang dilarang Allah SWT. Apakah tempat karaoke adalah tempat yang dilarang untuk dikunjungi dalam Islam? bahkan tak jarang pemilik karaoke tersebut berpredikat haji atau hajjah.

Apakah bernyanyi diperbolehkan dalam ajaran Islam? Sekian pertanyaan saya. Terima kasih, Ustad..
Wassalamu'alaikum Wr Wb

Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Karaoke Keluarga
Karaoke adalah sebuah bentuk hiburan dimana orang menyanyi diiringi dengan musik (tidak live) dan teks lirik yang ditunjukkan pada sebuah layar televisi.

Karaoke bisa berupa alat home entertainmen yang bisa dimainkan di rumah, tetapi juga bisa disewakan dalam bentuk kamar-kamar yang disewakan pada suatu pusat perbelanjaan atau pusat hiburan.

Konon sebagian dari tempat-tempat karaoke itu disinyalir ada yang disalah-gunakan sebagai tempat maksiat, entah itu untuk minum khamar, zina, pelacuran dan sebagainya. Bila tempat karaoke menjadi tempat maksiat, maka jelas hukumnya haram. Tempat Setan Manusia laki-laki dan perempuan.

Namun yang akan kita bahas disini khusus untuk karaoke sesuai dengan tujuan awalnya, yaitu bernyanyi dan bermusik.

Hukum Bermusik dan Bernyanyi
Hukum bernyanyi di Karaoke atau semua tempat sejenis sangat terkait erat dengan hukum bernyanyi serta bermain musik. Oleh karena itu saya tidak akan menjawab dari sisi hukum datang ke karaoke, melainkan membahas dari sisi hukum bernyanyi dan bermusik dalam pandangan syariah.

Para ulama baik di masa salaf ataupun masa khalaf belum pernah selesai memperdebatkan hukum bermusik dan bernyanyi. Sebagian dari mereka ada yang mengharamkan secara total, dan sebagian lagi mengambil posisi untuk membolehkannya. Dan di tengah-tengah ada juga yang mengharamkan sebagian, namun menghalalkan sebagian, serta membubuhi berbagai macam syarat dan ketentuan.

Perbedaan pendapat di tengah para ulama ini terjadi karena banyak faktor, yang paling utama karena tidak disepakatinya dalil-dalil yang mengharamkan secara shahih dan sharih. Kalau ada dalil yang shahih, sayangnya tidak sharih. Sebaliknya, begitu ada dalil yang sharih, ternyata dari sisi sanadnya tidak shahih.

Untuk lebih jelasnya, mari kita mulai pembahasan ini dari pengertian musik terlebih dahulu.

A. Pengertian 
1. Musik
Musik dalam bahasa Arab modern disebut dengan sebutan al-musiqa (الموسيقى). Dimana sebenarnya istilah al-musiqa dalam bahasa Arab adalah serapan dari bahasa Yunani, yang asalnya dari kata mousike.

The Muses adalah sebutan untuk sembilan dewi atau anak perempuan Dewa Zeus dengan salah seorang istrinya, Mnemosyne. Dalam legenda mitologi Yunani, Zeus adalah rajanya para dewa.

Namun di dalam nash-nash syar’i, istilah yang sering digunakan untuk alat-alat musik antara lain adalah al-mi’zaf  atau al-ma’azif  dalam bentuk jamak. Ma’azif kemudian didefinisikan sebagai :

الْمَلاَعِبُ الَّتِي يُضْرَبُ بِهَا

Alat yang dimainkan dengan cara memukul-mukulnya
Atau terkadang juga disebut dengan :

آلَةُ الطَّرَبِ كَالْعُودِ وَالطُّنْبُورِ

Alat musik pukul seperti tongkat dan tambur.
Ada beberapa jenis alat musik yang seringkali disebut-sebut di dalam nash syar’i, baik di dalam hadits atau pun di dalam kitab-kitab fiqih yang disusun oleh para ulama.

Di antara alat-alat musik itu adalah ad-duff (الدفّ), al-kubah (الكوبة), al-kabar (الكبر), al-yara’(اليراع), adh-dharbu bil qadhib (الضرب بالقضيب), al-‘uud (العود), ash-shaffaqatan (الصفقتان).

2. Lagu
Sedangkan lagu atau nyanyian dalam istilah bahasa Arab sering disebut dengan al-ghina (الغناء). Secara bahasa bermakna ash-shautu (الصوت) yaitu suara.

Kata al-ghina’ sendiri seringkali didefinisikan para ahli bahasa dengan :

التَّطْرِيبُ وَالتَّرَنُّمُ بِالْكَلاَمِ الْمَوْزُونِ وَغَيْرِهِ يَكُونُ مَصْحُوبًا بِالْمُوسِيقَى

Nyanyian dan lagu dengan menggunakan suara (vocal) yang teratur, dan sering diiringi dengan alat-alat musik

B. Musik dalam Kehidupan Manusia
Meski berbeda-beda dalam mendefinisikannya, namun kenyataannya hampir semua peradaban manusia di muka bumi, dari peradaban purba hingga peradaban paling maju, semua mengenal musik. Kepercayaan orang Eropa kuno menganggap musik sebagai ‘bahasa para dewa’.

David Ewen mencatat sebuah definisi tentang musik yang dibuat oleh penyusun kamus sebagai ilmu pengetahuan dan seni tentang kombinasi ritmik dari nada-nada, baik vokal maupun instrumental, yang meliputi melodi dan harmoni sebagai ekspresi dari segala sesuatu yang ingin diungkapkan terutama aspek emosional.

Schopenhauer, filusuf Jerman di abad ke-19 mengatakan dengan singkat bahwa musik adalah melodi yang syairnya adalah alam semesta.

Dello Joio, komponis Amerika keluaran Julliard School di New York menyebutkan bahwa mengenal musik dapat memperluas pengetahuan dan pandangan selain juga mengenal banyak hal lain di luar musik. Pengenalan terhadap musik akan menumbuhkan rasa penghargaan akan nilai seni, selain menyadari akan dimensi lain dari satu kenyataan yang selam ini tersembunyi.

Suhastjarja, dosen senior Fakultas Kesenian Institut Seni Indonesia Yogyakarta mengatakan bahwa musik ialah ungkapan rasa indah manusia dalam bentuk suatu konsep pemikiran yang bulan, dalam wujud nada-nada atau bunyi lainnya yang mengandung ritme dan harmoni, serta mempunyai suatu bentuk dalam ruang waktu yang dikenal oleh diri sendiri dan manusia lain dalam lingkungan hidupnya, sehingga dapat dimengerti dan dinikmatinya.

C. Perbedaan Hukum Dalam Pandangan Ulama
Para ulama sepanjang sejarah nyaris tidak pernah mencapai kata sepakat dalam memandang hukum musik dan lagu. Selalu saja ada ulama yang memandang keduanya haram, namun juga ada yang memandangnya halal. Dan di tengah-tengahnya ada yang mengahramkannya sebagian dan menghalalkannya sebagian.

1. Shahabat
Perbedaan pendapat tentang haramnya nyanyian dan musik bukan perbedaan yang baru terjadi hari ini. Perbedaan itu sudah terjadi di masa lalu, bahkan sejak masa shahabat. Ada sebagian shahabat yang menghalalkannya dan ada juga yang tegas mengharamkannya.

a. Yang Menghalalkan
Di kalangan para shahabat Nabi SAW ada beberapa di antara mereka yang menghalalkan musik, di antaranya Abdullah ibn Az-Zubair.

Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan alat musik berupa gitar. Dan Ibnu Umar pernah ke rumahnya ternyata disampingnya ada gitar :

Ibnu Umar berkata:’ Apa ini wahai sahabat Rasulullah SAW? Kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata:’ Ini mizan Syami( alat musik) dari Syam?’. Berkata Ibnu Zubair:’ Dengan ini akal seseorang bisa seimbang’.

b. Yang Mengharamkan
Sementara itu setidaknya ada dua orang shahabat Rasulullah SAW yang tercatat dengan tegas mengharamkan nyanyian dan musik, yaitu Abdullah bin Mas'ud dan Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahuanhuma.

Abdullah bin Ma'sud radhiyallahuanhu termasuk di antara shahabat yang mengharamkan nyanyian. Beliau berfatwa :

الغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفاَقَ فيِ الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الماَءُ الزَّرْعَ

Nyanyian itu menumbuhkan sifat munafik di dalam hati, sebagaimana air menyebabkan tumbuhnya tanaman. (HR.Abu Daud)

Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahuanhu mengharamkan nyanyian dan musik, dengan dasar penafsiran beliau atas istilah lahwa hadits (لهو الحديث) sebagaimana tercantum dalam ayat Al-Quran berikut :

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)

2. Ulama
Di kalangan ulama berikutnya, kita masih menyaksikan bagaimana mereka berbeda pendapat tentang hukum halal dan haram dari nyanyian dan musik. Berikut ini sebagian kecil dari apa yang mereka perselisihkan.

a. Yang Menghalalkan
Adapun ulama yang menghalalkan musik sebagaimana diantaranya diungkapkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar, di antaranya para ulama Madinah dan lainnya, seperti ulama Dzahiri dan jama’ah ahlu Sufi memberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola’.

Termasuk juga di antara mereka yang menghalalkan adalah Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali dan lainnya.

Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi’i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja’far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali radhiyallahuanhu.

Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al Musayyib, Atha bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya’bi. Dan diriwayatkan dari Ar-Rawayani dari Al-Qafal bahwa madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik.

Di antara ulama yang menghalalkan musik adalah Ibnu Hazm, mewakili kalangan ahli Dzhahir. Di dalam kitabnya Al-Muhalla, Ibnu Hazm memberikan banyak hujjah atas tidak haramnya musik selama tidak melanggar ketentuan.

b. Yang Mengharamkan
Para ulama mazhab seperti madzhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’i dan Al-Hanabilah termasuk kalangan yang menolak kehalalan musik secara umum, kecuali bila memenuhi ketentuan tertentu.

Abu Hanifah berkata bahwa bernyanyi dan main musik itu termasuk perbuatan dosa. Al-Malikiyah berkata bahwa yang menyanyikan lagu dan memainkan musik di antara kami adalah orang-orang fasik.

As-Syafi'iyah menyebutkan bahwa nyanyian itu perbuatan sia-sia yang dibenci dan menyerupai batil. Orang yang kebanyakan bernyanyi dan bermusik adalah orang bodoh yang tertolak kesaksiannya. Pendapat ini merupakan pendapat para ulama dari mazhab ini, seperti At-Thabari, An-Nawawi, Abu Ishaq dan lainnya.

berpendapat bahwa mendengar nyanyian adalah makruh. Jika mendengarnya dari wanita asing maka semakin makruh. Menurut Maliki bahwa mendengar nyanyian merusak muru’ah.

Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan karena mengandung lahwu. Dan Ahmad mengomentari dengan ungkapannya:’ Saya tidak menyukai nyanyian karena melahirkan kemunafikan dalam hati’.
Fudhail bin Iyadh berfatwa :

الغِناَءُ هُوَ رُقِيَّةُ الزِّناَ

Nyanyian itu merupakan mantera-mantera zina.

Adh-Dhahhak berfatwa :

الغِنَاءُ مُفْسِدَةٌ لِلْقَلْبِ مُسْخِطَةٌ لِلرَّبِّ

Nyanyian itu merusak hati dan membuat Tuhan marah
Diriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada guru dari anaknya berisi pesan yang melarang nyanyian dan musik.

لِيَكُنْ أَوَّلُ مَا تَفْعَلُ مَعَ ابَنِي أَنْ تُبَغِّضَه المـَلاَهِي فَإِنَّ صَوْتَ المـَعَازِفِ وَ اسْتِمَاعِ الأَغَانِي وَاللهِ بِمَا يُنْبِتُ النِّفَاقَ فيِ القَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ العُشْبُ عَلىَ الماَءِ هُوَ حَرَاٌم

Hendaklah yang pertama kali kamu kerjakan kepada anakku untuk menjauhkannya dari hal yang sia-sia. Karena sesungguhnya suara musik dan mendengarkan nyanyian, demi Allah, akan menumbuhkan sifat nifak di dalam hati, sebagaimana tumbuhnya rumput di air, dia haram hukumnya.

Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik. Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta’akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap wara’ (hati-hati).

Mereka melihat kerusakan yang timbul di masanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Quran maupun hadits yang jelas mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.

D. Dalil Yang Mengharamkan Musik dan Lagu

Di dalam syariat Islam, kita menemukan cukup banyak dalil baik di dalam Al-Quran maupun di dalam As-Sunnah, yang terkait dengan masalah musik dan lagu. Baik dalil itu bersifat sharih (tegas) atau pun bersifat merupakan penafsiran para ulama.

1. Al-Quran
Tidak ada satu pun ayat Al-Quran yang secara tegas menyebut kata musik, alat musik atau lagu dan nyanyian. Sehingga dalil-dalil terkait dengan musik dan lagu di dalam Al-Quran umumnya bersifat penafsiran atas istilah-istilah yang punya makna banyak.

Di antara istilah-istilah yang sering ditafsirkan para ulama sebagai musik dan lagu adalah :

a. Surat Luqman : Lahwal Hadits
Di antara dalil haramnya nyanyian dan musik di dalam Al-Quran adalah ayat yang menyebutkan tentang menyesatkan manusia dengan cara membeli apa yang disebut dengan lahwal-hadits (لهو الحديث). Ayat ini terdapat di dalam surat Luqman, yang oleh beberapa ulama disimpulkan sebagai ayat yang mengharamkan nyanyian dan lagu.

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)

Para ulama yang menyebutkan bahwa makna nya lahwal-hadits (لهو الحديث) diantaranya adalah Abudullah bin Mas’ud, Abdullah bin Al-Abbas, Jabir bin Abdillah, ridwanullahi ‘alaihim ajma’in.

Demikian juga dengan pendapat Mujahid dan Ikrimah, mereka menafsirkan lahwal-hadits sebagai lagu atau nyanyian. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan bahwa ayat ini turun terkait dengan lagu dan nyanyian.

b. Surat Al-Anfal : Siulan dan Tepukan

وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ

Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (QS. Al-Anfal : 35)

Menurut pendukung haramnya nyanyian dan musik, Allah SWT telah mengharamkan nyanyian dan musik lewat ayat ini. Logika yang digunakan adalah bahwa kalau sekedar bersiul dan bertepuk tangan saja sudah haram, apalagi bernyanyi dan bermusik. Tentu hukumnya jauh lebih haram lagi.

c. Surat Al-Isra’ : Suara

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ

Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu (QS. Al-Isra’ : 64)

Yang menjadi titik perhatian dalam ayat ini adalah kata bi shautika (بصوتك). Dalam pendapat mereka, ayat ini termasuk ayat yang mengharamkan nyanyian dan musik; lewat tafsir dan pendapat dari Mujahid. Beliau memaknainya dengan : bi-llahwi wal ghina (باللهو والغناء). Al-Lahwi sering diartikan dengan hal-hal yang sia-sia, sedangkan al-ghina’ adalah nyanyian dan lagu.

d. Surat Al-Furqan : Az-Zuur

وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً

Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS. Al-Furqan : 72)

Menurut mereka, kata yasyhaduna az-zuur (يشهدون الزور), sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid, bahwa kata la yasyhaduna az-zuur itu maknanya adalah : tidak mendengarkan nyanyian atau lagu. Muhammad bin Al-Hanafiyah mengatakan hal yang sama.

Maka mendengarkan nyanyian dan lagu hukumnya haram menurut penafsiran ayat ini.

e. Surat Al-Qashash : Laghwi

Sebagian ulama mengharamkan musik karena dianggap sebagai bentuk laghwi atau kesia-siaan, dan menurut mereka hal itu dilarang di dalam Al-Quran Al-Kariem.

وَ إِذَا سَمِعوُاُ اللَغُوَ أَعُرَضواُ عَنُه وَقَالواُ لَنا أَعُمَالنَا وَلَكمُ أَعُمَالَكمُ سَلَم عَلَيُكمُ لَا نَبُتَغِي الُجَاهِلِيُنَ

Dan apabila mereka mendengar perkataan yanpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dg tidak bermanfaat, mereka beran bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil". (QS. Al-Qashash : 55)

f. Surat An-Najm : Samidun

أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ وَأَنتُمْ سَامِدُونَ

Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)? (QS. An-Najm : 59-61)

Yang menjadi titik utama dari ayat ini adalah kata samidun (سامدون), dimana Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan samidun di ayat ini adalah al-mughannun (المغنون), yaitu orang-orang yang bernyanyi atau mendendangkan lagu. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah.

2. Hadits

Sedangkan penyebutan alat-alat musik dan nyanyian akan lebih jelas ketika kita membuka hadits-hadits nabawi. Ada begitu banyak hadits yang terkait dengan musik dan nyanyian, di antaranya adalah :

a. Hadits Pertama : Musik Penyebab Turunnya Bencana

إِذَا فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً حَلَّ بِهَا الْبَلاَءُ وَعَدَّ  مِنْهَا : وَاتَّخَذَتِ الْقَيْنَاتِ وَالْمَعَازِفَ

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Apabila umatku telah mengerjakan lima belas perkara, maka telah halal bagi mereka bala’. Dan beliau SAW menghitung salah satu di antaranya adalah budak wanita penyanyi dan alat-alat musik”. (HR. Tirmizy)

Hadits ini memasukkan musik sebagai salah satu dari lima belas penyebab turunnya bencana dari Allah SWT. Maka menurut yang mengharamkan musik, hukum bermusik itu haram karena akan menurunkan bencana dari Allah SWT.

b. Hadits Kedua : Tugas Nabi Menghancukan Alat Musik

إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكِنَّارَاتِ

Diriwayatkan dari Abi Umamah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusku menjadi rahmat dan petunjuk bagi alam semesta. Allah SWT telah memerintahkan aku untuk menghancurkan seruling dan alat-alat musik”. (HR. Ahmad)

Menurut pendapat yang mengharamkan musik, salah satu sebab kenapa musik itu diharamkan adalah karena salah satu tugas Rasulullah SAW adalah untuk menghancurkan alat-alat musik.

c. Hadits Ketiga : Akan Ada Yang Menghalalkan Musik

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ

Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar dan alat musik. (HR. Bukhari)

Hadits ini boleh jadi termasuk hadits yang paling selamat dari kelemahan isnad, karena hadits ini terdapat di dalam kitab Shahih Bukhari. Sehingga kalau ada yang masih meragukan kekuatan isnadnya, tentu yang meragukan itulah yang bermasalah.

Mengingat Ibnu Shalah menyebutkan bahwa seluruh umat Islam telah mencapai ijma’ bahwa kitab tershahih kedua setelah Al-Quran Al-Karim adalah kitab Shahih Bukhari.

Dan dari segi istidlal, hadits ini juga tegas menyebutkan bahwa ada orang yang akan menghalalkan alat benda-benda yang haram, dana salah satunya adalah al-ma’azif, yaitu alat musik.

d. Hadits Keempat : Musik Adalah Suara Yang Dilaknat

Haramnya suara musik juga didasarkan pada hadits berikut ini yang secara jelas-jelas menyebutkan bahwa suara seruling itu merupakan hal yang terlaknat di dunia dan akhirat.

صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ فيِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ : مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَ رَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ

Dua jenis suara yang dilaknat di dunia dan di akhirat, yaitu suara seruling ketika ada kenikmatan dan suara tangisan ketika musibah. (HR. Al-Bazzar)

e. Hadits Kelima : Allah Mengharamkan Musik

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ  قَالَ إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu bahwa Nabi SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan khamar, judi, kubah dan ghubaira’ (HR. Ahmad dan Abu Daud)

إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى أُمَّتِي الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْمِزْرَ وَالْكُوبَةَ وَالْقِنِّينَ

Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas umatku dari khamar, judi, mizar, kubah dan qinnin. (HR. Ahmad)

f. Hadits Keenam : Rasulullah SAW Menutup Telinga
Mereka yang mengharamkan alat musik berdalil bahwa ketika mendengar suara seruling gembala, Rasulullah SAW menutup telinganya. Hal itu menandakan bahwa musik itu hukumnya haram.

عَنْ نَافَعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ صَوْتَ زِمَارَةِ رَاٍع فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فيِ أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيْقِ وَهُوَ يَقُولُ : يَا نَافِع أَتَسْمَعُ ؟ فَأَقُولُ : نَعَمْ فَيَمْضِي حَتىَّ قُلْتُ : لاَ فَرَفَعَ يَدَهُ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ إِلىَ الطَّرِيْقِ وَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ  سَمِعَ زِمَارَةَ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا

‘Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:’Wahai Nafi’ apakah engkau dengar?’. Saya menjawab:’Ya’. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata :’Tidak’. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah SAW mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini’ (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

g. Hadits Ketujuh : Batilnya Semua Yang Sia-sia
Selain itu mereka yang mengahramkan musik berdalil dengan hadits di bawah ini, yaitu hadits yang mengharamkan semua yang sia-sia.

كُلُّ مَا يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ المُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلاَّ رَمْيُهُ بِقَوْسِهِ وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسُهُ وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلُهُ فَإِنَّهُنَّ مِنَ الحَقِّ

Semua perbuatan sia-sia yang dikerjakan seorang laki-laki muslim adalah batil, kecuali : melempar panah, melatihkan kuda dan mencumbui istrinya. Semua itu termasuk hak. (HR. At-Tirmizy)

h. Hadits Kedelapan : Haramnya Lonceng
Haramnya musik juga dikaitkan dengan haramnya keberadaan lonceng di dalam rumah. Dan memang ada beberapa hadits yang secara tegas mengharamkan lonceng, di antaranya :

الجَرَسُ مَزَامِيْرِ الشَّيْطَانِ
Lonceng itu adalah serulingnya setan (HR. Muslim)

لاَ تَدْخُلُ المَلآئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ جُلْجُلْ وَلاَ جَرَسٌ لاَ تَصْحَبُ المَلآئِكَةُ رُفْقَةً فِيْهَا كَلْبٌ أَوْ جَرَسٌ

Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat jul-jul dan lonceng. Dan malaikat tidak akan menemani orang-orang yang di rumah mereka ada anjing dan lonceng. (HR. Muslim)

Bahwa Rasulullah SAW memerintahkan agar untuk memotong lonceng dari leher unta pada hari Badar. (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

أَنَّ رَسُولَ اللهِ  أَمَرَ باِلأَجْرَاسِ أَنْ تُقْطَعَ مِنْ أَعْنَاقِ الإِبِلِ يَوْمَ بَدْرٍ

E. Dalil Yang Menghalalkan Musik dan Lagu
Para ulama yang tidak mengharamkan nyanyian dan musik juga punya hujjah yang tidak bisa dianggap enteng. Hujjah mereka justru dengan cara mengkritisi dalil-dalil yang digunakan oleh pihak yang mengharamkan. Dimana pada intinya mereka menyatakan bahwa semua dalil yang dipakai, meski jumlahnya banyak, tapi tak satu pun yang tepat sasaran.

Dalil Yang Menghalalkan Musik dan Lagu
Para ulama yang tidak mengharamkan nyanyian dan musik juga punya hujjah yang tidak bisa dianggap enteng. Hujjah mereka justru dengan cara mengkritisi dalil-dalil yang digunakan oleh pihak yang mengharamkan. Dimana pada intinya mereka menyatakan bahwa semua dalil yang dipakai, meski jumlahnya banyak, tapi tak satu pun yang tepat sasaran.

1. Jawaban Atas Dalil Quran
Lima ayat yang digunakan oleh mereka yang mengharamkan nyanyian dan musik adalah ayat yang sama sekali tidak menyinggung sedikit pun tentang nyanyian dan musik itu sendiri.

Kalau pun dipaksakan untuk ditafsirkan menjadi nyanyian dan lagu, sifatnya semata-mata hanya penafsiran yang subjektif dan dilakukan oleh hanya beberapa gelintir ulama ahli tafsir saja. Sama sekali tidak bisa dikatakan bahwa tafsiran itu mewakili pendapat seluruh mufassirin.

Jadi paling jauh, kita hanya bisa mengatakan bahwa sebagian ulama memang mengharamkan nyanyian dan lagu lewat ayat-ayat tersebut, namun sifatnya tidak mutlak, lebih merupakan pendapat subjektif dari beberapa orang di antara ulama.

a. Surat Luqman : Lahwal Hadits

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)

Istilah lahwal-hadits (لهو الحديث) di dalam surat Luqman, memang cukup sering ditafsirkan oleh beberapa ulama sebagai nyanyian dan lagu. Namun para ulama yang tidak berpendapat seperti itu jumlahnya jauh lebih banyak lagi.

Misalnya Adh-Dhahhak, beliau menafsirkannya istilah ini sebagai syirik, dan bukan nyanyian dan musik. Sedangkan Al-Hasan mengatakan bahwa maknanya adalah syirik dan kufur.

Ibnu Hazm menolak pengharaman musik bila menggunakan ayat ini, dengan beberapa alasan, antara lain :

Pertama, penafsiran versi Mujahid tidak bisa diterima, karena yang berhak menjelaskan Al-Quran hanyalah Rasulullah SAW. Dan beliau SAW tidak menjelaskan seperti yang ditafsirkan oleh Mujahid.
Kedua, penafsiran Mujahid ini sifatnya sepihak saja, tidak mewakili penafsiran kebanyakan ulama. Sementara ada begitu banyak shahabat dan tabi’in yang menghalalkan musik.

Ketiga, kalau ditafsirkan bahwa yang dimaksud lahwa-hadits itu hanya terbatas alat musik, maka penafsiran ini batil. Sebab bisa saja orang membeli benda yang lain lalu digunakan untuk menyesatkan orang dijadikan permainan. Katakanlah misalnya ada orang membeli mushaf Al-Quran, lalu dijadikan alat untuk menyesatkan orang dan permainan. Lantas apakah haram hukumnya membeli mushaf Al-Quran hanya karena ada orang tertentu yang menjadikannya sebagai penyesat dan permainan?.

Jawabnya tentu tidak. Kalau mau mengharamkan, seharusnya yang diharamkan adalah ketika menjadikan suatu benda sebagai alat untuk menyesatkan manusia dan permainan, bukan mengharamkan benda tersebut.

a. Surat Al-Anfal : Siulan dan Tepukan.
Ketika berhujjah dengan ayat tentang tentang orang-orang kafir di zaman jahiliyah beribadah dengan cara bertepuk dan bersiul, sehingga hasil kesimpulannya bahwa nyanyian dan musik itu menjadi haram, maka metode pengambilan kesimpulan hukumnya terlihat lemah sekali.

وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ

Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (QS. Al-Anfal : 35)

Ayat ini tidak secara langsung menyebutkan tentang musik dan lagu. Ayat ini hanya bercerita tentang bagaimana orang-orang di masa jahiliyah melakukan ibadah dengan cara bersiul-siul dan bertepuk-tepuk tangan.

Kemudian oleh kalangan yang ingin mengharamkan lagu dan musik, perbuatan orang-orang jahiliyah di masa lalu yang diceritakan di ayat ini kemudian dikaitkan dengan keharaman bernyanyi dan bermusik.

Padahal yang diharamkan adalah menyembah Allah dengan cara bersiul dan bertepuk tangan, yang mana hal itu merupaan perbuatan orang-orang kafir di masa jahiliyah.

Adapun bersiul dan bertepuk tangan di luar konteks ibadah kepada Allah, sama sekali tidak terkait dengan hukum halal dan haram. Artinya, tidak ada keharaman dari bertepuk dan bersiul, asalkan tidak ada berkaitan dengan ibadah. Misalnya adat dan budaya serta gestur yang ada di suatu masyarakat dalam berkomunikasi dengan sesama, tentu tidak bisa diharamkan begitu saja.

Di suatu peradaban tertentu, rasa kagum atas suatu hal biasa diungkapkan dengan cara bersiul. Atau rasa hormat dan bahagia biasa diungkapkan dengan bahasa tubuh yaitu bertepuk tangan spontan. Bahasa tubuh seperti itu tidak bisa begitu saja dikaitkan dengan sebuah peribadatan di peradaban yang lain.

Kalau bersiul dan bertepuk tidak selalu menjadi haram, apalagi bernyanyi dan bermusik, yang sama sekali tidak ada hubungannya. Maka kita tidak tepat rasanya mengharamkan nyanyian dan musik dengan menggunakan ayat ini.

b. Surat Al-Isra’ : Suara
Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik juga menggunakan ayat berikut sebagai dasar untuk mengharamkannya.

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ

Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu (QS. Al-Isra’ : 64)
Mereka mengatakan bahwa salah seorang ahli tafsir, yaitu Mujahid telah memaknainya kalimat bi shautika (بصوتك) sebagai al-ghina (الغناء), yaitu nyanyian dan lagu. Sehingga ayat ini dianggap ayat yang mengharamkannya.

Padahal pendapat itu hanya pendapat satu orang saja, yaitu Mujahid. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau, kita pun tidak harus selalu terpaku kepada pendapatnya. Sebab masih banyak ulama ahli tafsir yang tidak berpendapat demikian. Misalnya dengan penafsiran Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa maknanya adalah segala ajakan yang mengajak ke arah maksiat kepada Allah.

Nampaknya Departemen Agama RI lebih menggunakan Tafsir Ibnu Abbas dari pada pendapat Mujahid. Sebab kalau kita baca terjemahan ayat ini dalam versi Departemen Agama RI, kata itu diterjemahkan menjadi : ‘dengan ajakanmu’, sama sekali tidak terkait dengan urusan nyanyian dan musik.

c. Surat Al-Furqan : Az-Zuur
Mereka yang mengharamkan nyanyian dan musik juga seringkali menggunakan ayat berikut ini sebagai dasar pengharaman.

وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً

Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS. Al-Furqan : 72)

Mereka berlindung di balik pendapat Mujahid, bahwa kata la yasyhaduna az-zuur itu maknanya adalah : tidak mendengarkan nyanyian atau lagu. Muhammad bin Al-Hanafiyah mengatakan hal yang sama.

Padahal nyaris kebanyakan pendapat para ulama ahli tafsir tidak sampai ke arah haramnya nyanyian dan lagu, karena terlalu jauh penyimpangan maknanya.

Ayat ini menceritakan tentang ciri-ciri orang yang disebut sebagai ibadurrahman atau hamba-hamba Allah yang beriman, dimana salah satu cirinya adalah orang yang tidak memberikan kesaksian palsu.

Kalau pun ada ulama yang menafsirkan maknanya, tidak selalu berupa haramnya nyanyian dan musik. Misalnya penafsrian Ibnu Katsir yang mengatakan bahwa la yasyhaduna az-zuur adalah tidak melakukan syirik atau menyembah berhala.

Titik pangkalnya adalah pada kata yasyhaduna az-zuur (يشهدون الزور), yang di dalam terjemahan versi Departemen Agama RI diartikan dengan : memberi kesaksian palsu, sebagaimana zhahirnya lafadz ayat ini.

d. Surat Al-Qashash : Laghwi
Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik berdalih bahwa keduanya merupakan perbuatan sia-sia atau laghwi, sehingga hukumnya haram.

Namun kalangan yang menghalalkannya menjawab bahwa tidak semua perbuatan laghwi dilarang di dalam syariat Islam. Bahkan Al-Quran sendiri menyebutkan ada jenis laghwi yang tidak mendatangkan dosa.

Salah satunya adalah orang yang berlaghwi ketika mengucapkan sumpah, dimana Allah SWT tidak mempermasalahkannya, sebagaimana tersebut pada ayat berikut :

لاَ يُؤَخِذُكُمُ اللَهُ بِالَلغُو ِفِي أَيُمَانَكمُ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah : 225)

f. Surat An-Najm : Samidun
Ayat lainnya yang juga sering ditafsirkan sebagai musik atau lagu adalah potongan ayat di dalam surat An-Najm.

أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ وَأَنتُمْ سَامِدُونَ

Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)? (QS. An-Najm : 59-61)

Yang menjadi titik perhatian adalah kata samidun (سامدون). Dalam terjemahan yang kita baca dalam versi Departemen Agama, kata itu berarti orang yang lengah.

Namun beberapa ahli tafsir mengaitkannya dengan lagu dan nyanyian. Misalnya Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan samidun di ayat ini adalah al-mughannun (المغنون), yaitu orang-orang yang bernyanyi atau mendendangkan lagu. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah.

Sedangkan Adh-Dhahhak menafsirkan as-samud (السمود) sebagai al-lahwu wa al-la’bu (اللهو و اللعب), yang artinya pekerjaan yang sia-sia dan permainan.

Maka ayat ini menurut mereka menyebutkan sifat-sifat buruk yang dilakukan, yaitu ketika dibaca ayat-ayat Al-Quran, mereka malah bernyanyi-nyanyi.

2. Jawaban Atas Dalil Hadits
Kalau dihitung-hitung, hadits-hadits yang sering dijadikan alasan untuk mengharamkan nyanyian dan musik memang cukup banyak. Namun masalahnya sebagian dari hadits itu bermasalah, baik dari segi isnad maupun dari segi istidlal.

Abu Bakar Ibnul Arabi di dalam kitab Al-Ahkam menyebutkan dengan tegas bahwa tidak ada satu pun hadits yang shahih di antara hadits-hadits yang sering dijadikan dasar untuk mengharamkan musik.

Senada dengan di atas, Ibnu Thahir di dalam kitabnya As-Sima’, juga mengatakan tidak ada satu huruf pun yang shahih dari hadits-hadits yang mengharamkan musik.

Ibnu Hazm di dalam kitab Al-Muhalla menyebutkan : tidak ada satu pun hadits shahih dalam bab tentang haramnya musik ini. Semuanya hadits maudhu’.

Mari kita bahas satu persatu hadits-hadits yang banyak digunakan oleh merekayang mengharamkan nyanyian dan musik.

a. Hadits Pertama : Sharih Tapi Tidak Shahih
Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik menggunakan hadits berikut ini sebagai dalil.

إِذَا فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً حَل بِهَا الْبَلاَءُ وَعَدَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا : وَاتَّخَذَتِ الْقَيْنَاتِ وَالْمَعَازِفَ

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Apabila umatku telah mengerjakan lima belas perkara, maka telah halal bagi mereka bala’. Dan beliau SAW menghitung salah satu di antaranya adalah umatku memakai alat-alat musik”. (HR. Tirmizy)

Namun yang jadi masalah adalah meski matan hadits ini dari segi istidlal termasuk sangat jelas dan tegas menyebut nama alat musik, sehingga tidak bisa ditafsirkan menjadi sesuatu yang lain, bahkan acamannya juga jelas, yaitu bala’, tetapi sayangnya para ulama umumnya memvonis hadits ini lemah.

Bahkan perawinya sendiri, yaitu Al-Imam At-Tirmizy, jelas-jelas menyebutkan dalam Sunan At-Tirmiziy, bahwa tersebut tidak shahih.

Maka bagi mereka yang menghalalkan nyanyian dan musik, hadits ini tidak bisa dijadikan landasan untuk mengharamkannya. Karena hukum halal haram tidak boleh dilandasi dengan hadits yang status hukumnya lemah.

b. Hadits Kedua : Sharih Tapi Tidak Shahih


إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكِنَّارَاتِ

Diriwayatkan dari Abi Umamah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusku menjadi rahmat dan petunjuk bagi alam semesta. Allah SWT telah memerintahkan aku untuk menghancurkan seruling dan alat-alat musik”. (HR. Ahmad)

Hadits ini juga tegas sekali menyebutkan tentang salah satu tugas Rasulullah SAW, yaitu menghancurkan seruling dan alat-alat musik. Kalau seandainya hadits ini shahih, pastilah para ulama tidak pernah berbeda pendapat tentang kewajiban menghancurkan alat-alat musik. Atau setidak-tidaknya, mengharamkan alat musik secara aklamasi.

Masalahnya justru karena hadits kedua ini juga didhaifkan oleh banyak ulama, di antaranya Al-Haitsami menyebutkan bahwa dalam rangkaian para perawinya ada seorang perawi yang dhaif bernama Ali bin Yazid.

Maka wajar kalau sebagian ulama ada yang mengharamkan alat-alat musik, namun sebagian lagi tidak memandang keharaman alat-alat musik, lantaran dalil yang digunakan untuk mengharamkannya justru bermasalah, karena merupakan hadits dhaif.
Dan hadits dhaif memang boleh digunakan untuk meningkatkan semangat dalam mendapatkan keutamaan, tetapi seluruh ulama sepakat menolak hadits dhaif untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

c. Hadits Ketiga : Shahih Tapi Tidak Sharih

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ

Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan kemaluan, sutera, khamar dan alat musik. (HR. Bukhari)

Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadits-hadits tentang haramnya nyanyian dan musik ini, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al-Asy’ari.

Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits Shahih Bukhari, tetapi para ulama memperselisihkannya. Banyak diantara mereka yang mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits mu’alaq (sanadnya terputus), diantaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm.

Mengapa demikian?
Ternyata hadits ini termasuk dalam kategori mu’allaqat (معلقات), meski pun Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berijtihad bahwa hadits ini tersambung lewat sembilan jalur periwayatan. Namun semua jalur itu melewati satu orang perawi yang banyak diperdebatkan oleh para ulama, yaitu perawi bernama Hisyam bin Ammar.

Di antara perdebatan mereka antara lain apa yang dikomentari Abu Daud tentang Hisyam, yaitu sebagai orang yang meriwayatkan 400 hadits yang tidak ada asalnya. Abu Hatim menyebutnya sebagai pernah berstatus shaduq tapi kemudian sudah berubah. An-Nasa’i menyebutnya sebagai : la ba’sa bihi. Sebutan ini tidak menghasilkan mutlak kepercayaan.

Sedangkan mereka yang tidak mempermasalahkan Hisyam, bersikeras menyebut bahwa Bukhari tidak mencacatnya. Selain itu Hisyam ini adalah khatib di Damaskus, juga ahli Al-Quran serta juga ahli hadits negeri itu.

Disamping itu diantara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idhtirab). Katakanlah, bahwa hadits ini shahih, karena terdapat dalam hadits Shahih Bukhari, tetapi nash dalam hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya. Batasan yang ada adalah bila ia melalaikan.

Kalau pun periwayatan hadits ini diterima, apa-apa yang disebutkan itu tidak semuanya haram secara mutlak. Misalnya sutera yang hanya diharamkan buat laki-laki, sedangkan perempuan dibolehkan memakainya.

Hadits ini juga tidak menyebutkan zina dengan istilah zina, melainkan dengan istilah hira (الحِرَ). Makna aslinya adalah kemaluan atau farji. Namun kemudian mengalami pergeseran makna menjadi zina. Maka kalau kita gunakan makna aslinya, yaitu menghalalkan kemaluan, hukumnya tidak mutlak salah. Sebab menghalalkan kemaluan bisa dengan cara yang benar, seperti lewat pernikahan atau menyetubuhi budak.

Maka ketika Nabi SAW menyebut alat musik, sifatnya tidak mutlak haram, tetapi maksudnya bila alat-alat musik itu membawa madharat yang memang dilarang. Maka barulah hukumnya haram.

d. Hadits Keempat :
Haramnya suara musik juga didasarkan pada hadits berikut ini yang secara jelas-jelas menyebutkan bahwa suara seruling itu merupakan hal yang terlaknat di dunia dan akhirat.


صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ فيِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ : مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ

Dua jenis suara yang dilaknat di dunia dan di akhirat, yaitu suara seruling ketika ada kenikmatan dan suara tangisan ketika musibah. (HR. Al-Bazzar)

e. Hadits Kelima :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ  قَالَ إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu bahwa Nabi SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan khamar, judi, kubah dan ghubaira’ (HR. Ahmad dan Abu Daud)

إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى أُمَّتِي الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْمِزْرَ وَالْكُوبَةَ وَالْقِنِّينَ

Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas umatku dari khamar, judi, mizar, kubah dan qinnin. (HR. Ahmad)

f. Hadits Keenam : Menutup Telinga Bukan Berarti Haram


عَنْ نَافَعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ صَوْتَ زِمَارَةِ رَاٍع فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فيِ أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيْقِ وَهُوَ يَقُولُ : يَا نَافِع أَتَسْمَعُ ؟ فَأَقُولُ : نَعَمْ فَيَمْضِي حَتىَّ قُلْتُ : لاَ فَرَفَعَ يَدَهُ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ إِلىَ الطَّرِيْقِ وَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ  سَمِعَ زِمَارَةَ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا - رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه

‘Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:’Wahai Nafi’ apakah engkau dengar?’. Saya menjawab:’Ya’. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata :’Tidak’. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah SAW mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini’ (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Hadits ini punya dua kelemahan sekaligus, yaitu dari segi isnad dan istidlal.
Dari segi sanad, hadits ini divonis sebagai hadits munkar oleh Abu Daud. Meski pun ada juga yang menentangnya.

Namun kalau pun hadits ini diterima dari segi isnad, masih juga bermasalah dari segi istidlal. Mengapa?

Karena hadits ini sama sekali tidak menyebutkan halal atau haramnya mendengar suara musik secara eksplisit. Hadits ini memang dari segi istidlah bisa ditafsirkan menjadi dasar keharaman mendengar suara musik. Namun kesimpulan itu belum tentu tepat sasaran. Karena ada beberapa kejanggalan dalam detailnya, seperti :

Pertama, seandainya hukum mendengar suara musik itu memang benar-benar haram, seharusnya Ibnu Umar tidak pergi dan berlalu dari penggembala. Seharusnya beliau melarang si penggembala meniup seruling. Sebagai ahli fiqih di zamannya, tidak boleh hukumnya buat beliau mendiamkan kemungkaran, dan hanya sekedar menghindar.

Tapi yang beliau lakukan hanya menghindar saja, tidak melarang. Berarti kalau peristiwa disimpulkan sebagai haramnya musik adalah kesimpulan yang kurang tepat.

Kedua, seandainya hukum mendengar musik itu memang benar-benar haram secara mutlak, maka seharusnya Ibnu Umar tidak hanya menutup telinganya sendirian. Seharusnya beliau juga memerintahkan pembantunya, Nafi’, untuk ikut juga menutup telinga, seperti yang beliau lakukan dan sebagaimana yang konon dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Tetapi kenyataannya, Ibnu Umar sama sekali tidak memerintahkan Nafi’ untuk menutup telinga. Malah beliau bertanya apakah Nafi’ masih mendengarnya.

Maka karena tidak ada kejelasan pasti tentang mendengar musik haram apa tidak di hadits ini, bisa saja kita berasumsi bahwa ketika Rasulullah SAW menutup telinganya, bukan karena haramnya, melainkan karena sebab-sebab yang lain.

Sebab-sebab yang lain itu misalnya karena momentumnya tidak tepat. Mengingat di waktu-waktu tertentu, Rasulullah SAW justru membolehkan nyanyian dan musik diperdengarkan dan dimainkan, misalnya ketika Hari Raya, pernikahan atau ketika dalam peperangan.

Atau boleh jadi si penggembala kurang pandai memainkan alat musiknya sehingga terkesan memekakkan telinga, fals dan sumbang. Sehingga beliau SAW menutup telinganya sambil meninggalkannya. Padahal kalau seandainya meniup seruling itu haram, seharusnya Rasulullah SAW bukan menutup telinga, tetapi beliau menegur penggembala itu secara langsung. Mustahil buat seorang Nabi mendiamkan kemungkaran di depan mata. Karena hal itu berarti tidak amanah dalam menjalankan tugas-tugas kenabian.

g. Hadits Ketujuh Batilnya Semua Yang Sia-sia
Sebagian kalangan yang ingin mengharamkan nyanyian dan musik menggunakan hadits tentang semua perbuatan sia-sia hukumnya batil, kecuali memanah, melatih kuda dan bercumbu dengan istri.

كُلُّ مَا يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ المُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلاَّ رَمْيُهُ بِقَوْسِهِ وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسُهُ وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلُهُ فَإِنَّهُنَّ مِنَ الحَقِّ

Semua perbuatan sia-sia yang dikerjakan seorang laki-laki muslim adalah batil, kecuali : melempar panah, melatihkan kuda dan mencumbui istrinya. Semua itu termasuk hak. (HR. At-Tirmizy)

Kelemahan hadits ini ada dua, yaitu dari segi keshahihannya dan dari istidlalnya. Dari segi sanad, Al-Hafidz Al-‘Iraqi menyebutkan bahwa ada idhthirab di dalam hadits ini.

Sedangakan kelemahan dari segi istidlal bahwa hadits ini sama sekali tidak menyebut nyanyian dan musik sebagai sesuatu yang batil. Sedangkan kalau dikatakan bahwa nyanyian dan musik itu termasuk batil karena umumnya hadits ini, yang tidak batil hanya ada tiga perbuatan saja, maka akan ada begitu banyak perbuatan yang batil di sekeliling kita.

Logika seperti ini ibarat ingin membunuh lalat dengan menggunakan meriam. Lalatnya belum tentu mati, tetapi korban yang lain sudah pasti.

h. Hadits Kedelapan : Haramnya Lonceng
Haramnya musik juga dikaitkan dengan haramnya keberadaan lonceng di dalam rumah. Namun suara lonceng itu tidak selalu mutlak haram. Buktinya, kadang-kadang yang justru didengar oleh Rasulullah ketika menerima wahyu adalah suara lonceng, sebagaimana hadits shahih berikut :

أَحْيَانًا يَأْتِينِي فِي مِثْلِ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ

Terkadang wahyu datang kepadaku seperti bunyi lonceng. Itulah yang paling berat bagiku. (HR. Muslim)

Maka apabila lonceng itu haram hukumnya dalam segala hal, seharusnya beliau SAW tidak perlu mendengar suara lonceng ketika menerima wahyu.

3. Hadits-hadits Yang Membolehkan
Sementara itu kalangan yang menghalalkan nyanyian dan musik juga menampilkan hadits-hadits yang justru menjadi dasar atas kehalalannya. Di antara hadits-hadits itu adalah ketika Rasulullah SAW membiarkan para wanita bernyanyi


عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ  وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ  يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا

Dari 'Aisyah berkata, "Abu Bakar masuk menemui aku saat itu di sisiku ada dua orang budak tetangga Kaum Anshar yang sedang bersenandung, yang mengingatkan kepada peristiwa pembantaian kaum Anshar pada perang Bu'ats." 'Aisyah menlanjutkan kisahnya, "Kedua sahaya tersebut tidaklah begitu pandai dalam bersenandung. Maka Abu Bakar pun berkata, "seruling-seruling setan (kalian perdengarkan) di kediaman Rasulullah SAW?" Peristiwa itu terjadi pada Hari Raya 'Ied. Maka bersabdalah Rasulullah SAW,"Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan sekarang ini adalah hari raya kita." (HR. Bukhari)

Hadits ini shahih terdapat di dalam kitab Ash-Shahih karya Al-Imam Al-Bukhari. Tidak ada satu pun ulama yang menentang keshahihannya.

Sementara kalangan yang mengharamkan nyanyian dan lagu menyebutkan bahwa kebolehannya bersifat sangat terbatas, yaitu karena adanya hari raya saja.

4. Fitrah Manusia
Secara fitrah manusia menyenangi suara gemercik air yang turun ke bawah, kicau burung dan suara binatang-binatang di alam bebas, senandung suara yang merdu dan suara alam lainnya.

Nyanyian dan musik merupakan bagian dari seni yang menimbulkan keindahan, terutama bagi pendengaran. Allah SWT menghalalkan bagi manusia untuk menikmati keindahan alam, mendengar suara-suara yang merdu dan indah, karena memang itu semua itu diciptakan untuk manusia.

5. Tidak Boleh Sembarangan Mengharamkan
Allah SWT telah mengharamkan sesuatu dan semuanya telah disebutkan dalam Al-Quran maupun hadits Rasulullah SAW Allah SWT menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk.
Halal dan haram telah jelas. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ اَلْحَلالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ اَلْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ اَلنَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى اَلشُّبُهَاتِ فَقَدِ اِسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي اَلشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي اَلْحَرَامِِ

‘Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya ada yang syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yang menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram’ (HR Bukhari dan Muslim).

Sehingga jelaslah semua urusan bagi umat Islam. Allah SWT tidak membiarkan umat manusia hidup dalam kebingungan, semuanya telah diatur dalam Syariah Islam yang sangat jelas sebagaimana jelasnya matahari di siang hari. Oleh karena itu semua manusia harus komitmen pada Syari’ah Islam yang merupakan pedoman hidup mereka.

Istilah yang biasa dipakai dalam madzhab Hanafi pada masalah nyanyian dan musik sudah masuk dalam ruang lingkup maa ta’ummu bihi balwa (sesuatu yang menimpa orang banyak). Sehingga pembahasan tentang dua masalah ini harus tuntas.

Dan dalam memutuskan hukum pada dua masalah tersebut, apakah halal atau haram, harus benar-benar berlandaskan dalil yang shahih (benar) dan sharih (jelas).

Dan tajarud, yakni hanya tunduk dan mengikuti sumber landasan Islam saja yaitu Al-Quran, Sunnah yang shahih dan Ijma’. Tidak terpengaruh oleh watak atau kecenderungan perorangan dan adat-istiadat atau budaya suatu masyarakat.

Hal ini sesuai firman Allah SWT


هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (QS Al-Baqarah 29).

Sehingga untuk memutuskan hukum haram pada masalah muamalah termasuk nyanyian dan musik harus didukung oleh landasan dalil yang shahih dan sharih. Rasulullah SAW bersabda:

‘Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan kewajiban, janganlah engkau lalaikan, menetapkan hudud, jangan engkau langgar, mengharamkan sesuatu jangan engkau lakukan. Dan diam atas sesuatu, sebagai rahmat untukmu dan tidak karena lupa, maka jangan engkau cari-cari (hukumnya) ‘ (HR Ad-Daruqutni).

‘Halal adalah sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya. Dan haram adalah sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Sedangkan yang Allah diamkan maka itu adalah sesuatu yang dima’afkan’ (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim)

Kesimpulan
1. Lepas dari kondisi tempat penyewaan karaoke yang bisa saja dicampuri atau disalah-gunakan untuk maksiat, khusus bila karaoke itu dipergunakan seusai aturan yaitu sekedar bermusik atau bernyanyi, kita masih membaca ikhtilaf para ulama dalam hukumnya.
2. Sebagian kalangan yang terlanjur mengharamkan musik dan nyanyian, kadang mengharamkannya bukan semata kareha hukum musik dan nyanyian, tetapi 'illatnya karena melalaikan, atau bercampur dengan kemaksiatan yang lain.
3. Bernyanyi di Karaoke lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya karena dikhawatirkan bercampur dengan kemaksiatan seperti mabuk-mabukan, selingkuh, dan kemaksiatan lainnya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA

Tinjauan Kristen

Indonesian Idol, sebuah ajang pencarian bakat penyanyi terbesar di Indonesia bagi anak muda, dimulai sejak tahun 2004 hingga saat ini dan ditayangkan secara live oleh sebuah televisi swasta dan dapat disaksikan oleh ribuan bahkan jutaan masyarakat Indonesia.

Keahlian menyanyi

Ajang yang diikuti oleh ribuan anak-anak muda ini terdiri dari berbagai latar belakang pendidikan, ekonomi, budaya dan agama. Dan sejarah mencatat, sejak diadakannya ajang ini untuk pertama kalinya pada tahun 2004, juara pertamanya seorang wanita yang percaya kepada Isa Al-Masih, lagi pada gelombang ke dua kembali juara pertama diraih seorang pria yang percaya kepada Isa Al-Masih. Jika kita perhatikan dari awal hingga tahun 2008 peringkat tiga besar tidak pernah luput dari orang-orang yang percaya kepada Isa Al-Masih, walaupun mereka tidak menduduki peringkat pertama, tetapi minimal mereka ada dalam peringkat grand-final.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita juga banyak menemukan orang-orang Kristen yang mempunyai suara bagus, walaupun memang cukup banyak juga orang-orang non-Kristen yang bersuara bagus. Mungkin hal ini dikarenakan orang Kristen sudah terbiasa bernyanyi di gereja, di persekutuan doa maupun pada saat seorang diri berdoa, sehingga dengan sendirinya suara mereka dapat terlatih dan terbentuk dengan baik yang akhirnya melahirkan orang-orang yang mempunyai kepintaran bernyanyi secara otodidak.


Nyanyian bagi Allah dan Keselamatan dari  Allah

Bernyanyi bagi Allah juga dilakukan oleh para Nabi besar di zaman sebelum kedatangan Isa Al-Masih, seperti yang dilakukan oleh Raja Daud saat dia dan seluruh kaum Israel menari-nari di hadapan Allah dengan sekuat tenaga, diiringi nyanyian dan berbagai macam alat musik saat Allah melepaskan mereka dari cengkeraman musuh-musuhnya, dan ucapan syukur itu mereka naikkan dengan nyanyian dan tarian (Kitab II Samuel 6:5). Ternyata nyanyian Raja Daud tidak hanya disampaikannya pada saat dia senang, pada saat dia menyampaikan kesedihannya kepada Allah-pun, dia menyampaikannya dengan nyanyian (Kitab II Samuel 1:17).

Banyak cara yang dapat kita lakukan pada saat kita mengungkapkan isi hati kita pada Allah, ada yang menari sambil bernyanyi, bahkan ada juga yang berdoa dalam hati dan hanya bibirnya yang bergerak-gerak sehingga dikira mabuk (Kitab II Samuel 1:13). Namun satu hal yang perlu kita ingat, bagaimanapun cara kita meluapkan isi hati kita kepada Allah, lakukanlah dengan segenap hati seperti yang diajarkan Isa Al-Masih dalam Injil: “bernyanyi dan bersoraklah bagi Allah dengan segenap hati” (Injil, Surat Efesus 5:19).

Ternyata nyanyian pujian dan penyembahan bukan hanya diterima Allah dari mereka yang ada di dunia ini, orang-orang yang masuk sorga juga akan ikut bernyanyi, ”Dan mereka menyanyikan suatu nyanyian baru” (Kitab Wahyu 5:9), yaitu nyanyian baru Keselamatan yang telah mereka terima dari penebusan Isa Al-Masih.

(DANIEL 1 : 8) : "Daniel berketetapan untuk tidak menajiskan dirinya dengan santapan raja dan dengan anggur yang biasa diminum raja; dimintanyalah kepada pemimpin pegawai istana itu, supaya ia tak usah menajiskan dirinya, karena menolak minuman raja"

Makanan merupakan salah satu pintu gerbang yang membawa perubahan di dalam hidup manusia. Demikian pula pendidikan, kebudayaan, pergaulan, musik memiliki pengaruh bagi kehidupan kita. Pintu-pintu yang terbuka inilah yang seringkali dimanfaatkan oleh setan untuk menguasai manusia.

Penolakan Daniel terhadap makanan raja ini bukan sekedar makanan secara hurufiah, namun makanan yang bersifat mengubah pola pikir Daniel dari seorang Yahudi yang beriman kepada ALLAH kepada kebiasaan orang Babel penyembah berhala. Jika hidup kita sebagai orang Kristen dipengaruhi oleh segala sesuatu yang berbau duniawi, cepat atau lambat pikiran kita menjauh dari cara hidup orang rohani dan akhirnya menjadi seperti orang dunia. Inilah yang menjadi tujuan setan.

Kita patut memberi salut atas keteguhan pendirian Daniel yang masih muda itu. Kebanggaan boleh menikmati makanan raja yang super mewah di istana ditolaknya. Memang demikanlah sikap seorang anak TUHAN: punya pendirian untuk tetap hidup sesuai Firman.

(1 KORINTUS 10 :31) : "Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan ALLAH".

Dalam melakukan segala sesuatu, orang beriman memilki batasan: melakukannya untuk memuliakan ALLAH. Jika ada orang yang bertanya, bolehkah orang Kristen ke night club, pub atau tempat karaoke? Alkitab tidak melarang kita secara spesifik, namun apa yang umumnya terjadi di sana? Apakah mengunjungi tempat-tempat demikian memuliakan ALLAH dan berguna bagi kita? Sebab rasul Paulus menjelaskan di dalam 1 Korintus 10:23, bahwa apa yang kita lakukan itu belum tentu berguna dan membangun.

(1 KORINTUS 9 : 27) : Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.

Aspek lain dari penolakan Daniel terhadap makanan raja ini merupakan bagian dari melatih diri untuk tidak mengumbar nafsu. Paulus mengatakan, bahwa dia mendisiplin dirinya agar jangan sampai nafsu menyeretnya, sehingga dia sendiri tidak menerima keselamatan dari TUHAN. Padahal, dia adalah pemberita Injil dan membawa banyak orang pada jalan keselamatan.

Sebagai penderita diabetes, saya melatih diri untuk tidak mengumbar nafsu makan saya terutama makanan yang memiliki kadar gula relatif tinggi seperti nasi. Saya melakukan hal tersebut untuk memuliakan TUHAN, yakni melayani jemaat, membangun supaya bertambah karunia yang selama ini masih belum sempurna di dalam kehidupan jemaat. Merupakan kerinduan saya agar baik saya maupun jemaat memiliki kepastian masuk Kerajaan Sorga.

(MAZMUR 1 : 1) : Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh

Daniel tidak mau duduk makan bersama bangsawan di istana; yang dia inginkan adalah makan bersama anak-anak TUHAN. Pergaulan yang tidak sehat akan menjerumuskan kita pada hal-hal negatif yang merusak. Contohnya: pada awalnya hanya kumpul-kumpul dan membuka pembicaraan dengan orang-orang yang mengkonsumsi putaw, lama kelamaan mulai dibujuk atau diajak mengkonsumsinya dan akhirnya kita sudah kecanduan.

Sebaiknya kita, terutama anak-anak muda, jangan bergaul sembarangan. Lebih baik mengisi waktu yang ada untuk berhimpun dalam ibadah yang membawa pertumbuhan iman kita. Amsal 23:20 mengatakan, “Janganlah engkau ada di antara peminum anggur dan pelahap daging.” Pelahap daging bermakna orang yang hidup dalam hawa nafsu.

Nilai plus apa yang kita peroleh jika kita menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak sesuai dengan Firman?

Seringkali kita takut menolak ajakan teman untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai Firman karena kita kuatir tidak diterima dalam pergaulan. Kita takut mendapat label ndeso, dicap “sok suci”. Tidak apa-apa mendapat julukan “sok suci” asal kita jangan menjadi orang yang munafik, hanya pura-pura “rohani”.

Bernyanyi bisa membuat jiwa dan pikiran stres menjadi sedikit lebih rileks. Sejenak melupakan semua masalah, makanya banyak masyarakat akhir-akhir ini berbondong-bondong ketempat karaoke sebagai tujuan untuk refreshing.

Jadi jika bernyanyi di gereja, lalu mendapatkan kedamaian setelahnya,  menyanyi di gereja bukan seperti pergi bernyanyi di karaoke. Menyanyi di gereja adalah untuk memuji Tuhan, sebab itulah kehendak Tuhan. Siapakah manusia yang mempertanyakan dan yang mau merubah kehendak Tuhan. Biarlah kita melakukan kehendak Tuhan.

Dan juga dengan memuji Tuhan kita lebih dekat dengan Tuhan. Sebab ada tertulis: “Karena sudah sejak dahulu, pada zaman Daud dan Asaf, ada pemimpin-pemimpin penyanyi, ada nyanyian pujian dan nyanyian syukur bagi Allah” ( Kitab Nabi Nehemia 12:46).


PERCAKAPAN :
- Orang Awam : "Bernyanyi bisa membuat jiwa dan pikiran stres menjadi sedikit lebih rileks. Sejenak melupakan semua masalah, makanya banyak masyarakat akhir-akhir ini berbondong-bondong ketempat karaoke sebagai tujuan untuk refreshing.

- Kristian   : "Dulu nyanyian syukur bagi Allah, sekarang nyanyian Merubah kehendak Tuhan (Nehemia 12:46)"

- Muslim     : "Dulu dangdut musik dakwah, sekarang dangdut musik maksiat"

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ
 
Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan kemaluan, sutera, khamar dan alat musik. (HR. Bukhari)

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.