Masalah Poligami dan Non Poligami Menurut Yahudi, Nasrani dan Islam


Membahas seputar pro da kontra seputar poligami saya jadi tertarik untuk menuliskan masalah poligami ini sehingga menjadi maslahat dan titik terang bagi kita semua, terhadap masalah poligami ini yang di tinjau dari agama samawi mulai dari Agama Yahudi sekarang, Kristen dan terakhir dari segi agama Islam.

1. Poligami Menurut Agama Yahudi Sekarang
Kaidah Kitab agama Yahudi yang sekarang, yang dipakai adalah kitab Talmud, yang jauh dari kitab Taurat sebelumnya. Didalam Talmud masalah poligami mengacu pada isi kitab tersebut sebagai berikut : 
- “Terhadap seorang non Yahudi tidak menjadikan orang Yahudi berzina. Bisa terkena hukuman bagi orang Yahudi hanya bila berzina dengan Yahudi lainnya, yaitu isteri seorang Yahudi. Isteri non-Yahudi tidak termasuk.” (Talmud IV/4/52b)
- “Tidak ada isteri bagi non-Yahudi, mereka sesungguhnya bukan isterinya.” (Talmud IV/4/81 dan 82ab)
Astagfirullah hal adzim, dalam kitab Talmud yaitu "Terhadap seorang non Yahudi tidak menjadikan orang Yahudi berzina". Apabila seorang yahudi memperlakukan tidak senonoh kepada orang bukan Yahudi mereka menganggapnya tidak berzinah. Pantas saja mereka merampas hak-hak perempuan muslim di Palestina. Dan orang Yahudi yang melakukakan pernikahan dengan orang non yahudi mereka menganggap bukan istrinya meskipun mereka telah melakukan pernikahan.


2. Poligami Menurut Agama Kristen
Poligami juga pernah dilakukan Nabi-nabi sebelumnya sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab sebelum al Quran :

Peraturan poligami di kitab perjanjian lama "Ulangan 21:15" : "Apabila seorang mempunyai dua orang isteri,  yang seorang dicintai dan yang lain tidak dicintainya, dan mereka melahirkan anak-anak lelaki baginya, baik isteri yang dicintai maupun isteri yang tidak dicintai, dan anak sulung adalah dari isteri yang tidak dicintai,

Konsep ini, sangat berjasa bagi kemaslahatan umat manusia. Naif, karena dalam kitab suci mereka, tidak ada satu ayatpun yang mengecam apalagi melarang poligami.

- Kitab Ulangan 21:15-16 dan Keluaran 21:10 menjelaskan, beberapa aturan hukum beristri lebih dari satu. Ini adalah bukti bahwa alkitab (Bibel) pun tidakmelarang poligami. Alkitab, memberikan aturan tentang poligami, sesuai zaman yang berlaku pada masa itu.

- Dalam Alkitab, pelaku poligami pertama kali adalah Lamekh (Kejadian 4:19). Dalam Ulangan 25:5 disebutkan, jika suami meninggal, maka sang istri itu harus dinikahi oleh saudara lelaki sang suami. Perkawinan antara janda dengan ipar ini disebut “Kewajiban Perkawinan Ipar”.

- Jika saudara Ipar sudah beristri, ia harus memoligami janda iparnya. Jika saudara ipar itu menolak menikahinya dengan alasan tidak suka, ia dihukum oleh tokoh Nasrani dengan cara diludahi mukanya (Ulangan 25:0).

- Dalam Bibel pun terdapat puisi tentang poligami : Permaisuri ada enam puluh, selir delapan puluh, dan dara-dara tak terbilang banyaknya. Tetapi dialah satu-satunya merpatiku, idam-idamanku, satu-satunya anak ibunya, anak kesayangan bagi yang melahirkannya, putri-putri melihatnya dan menyebutnya bahagia, permaisuri-permaisuri dan selir-selir memujinya (Kidung Agung 6:8-9).

- Legalnya poligami ini, didukung fakta di dalam Bibel, bahwa para Nabi Bani Israil juga berpoligami. Nabi Ibrahin punya dua istri, yaitu Sara (Kejadian 11:29-31) dan Hagar (Kejadian 11:29-31). Selain itu, Ibrahim disebut juga punya gundik bernama Kentura (Kejadian 25:1).

- Nabi Yakub punya empat istri, yaitu Lea, Rahel, Bilha dan Zilpa (Kejadian 29:31-32, 30:34, 30:39). Jejak Nabi Yakub ditiru oleh anaknya, Esau, dengan menikahi dua perempuan Kanaanm yaitu Ada dan Oholibama (Kejadian 36:2-10).

- Nabi Musa berpoligami dengan mengawini dua istri. Salah satunya bernama Zipora (Keluaran 18:2, Bilangan 12:1). Salomo alias Nabi Sulaiman punya 700 istri dan 300 gundik (I Raja-raja:1-3). Anak kandung Salomo, Rehabeam, juga berpoligami. Ia punya 18 istri dan 60 gundik yang memberinya 28 anak laki-laki dan 60 perempuan (2 Tawarikh 11:21).

- Nabi Daud memiliki banyak istri dan gundik, diantaranya Ahinoam, Abigail, Maacha, Hadjit, Edjla, Michal dan Batsyeba ,(I Samuel 25:43-44,27:3,30:5, II Samuel 3:1-5, 5:13, I Tawarikh 3:1-9, 14:3, II Samuel 16:22). Simson kawin beberapa kali (Hakim-hakim 14:10, 16:1-4), dan masih banyak lagi daftar pelaku pepoligami dalam Alkitab.

- Jauh sebelum Rasul lahir, Nabi Daud, Abraham, Yakub dan Salomo telah mempraktekan poligami. Tapi tak satupun ayat Bibel yang mengecam atau menilainya sebagai tindakan yang salah, bermaksiat dan dosa.

Nabi Daud, mengoleksi banyka istri dan gundik, tapi Tuhan tidak mengecamnya sebagai kelemahan. Bahkan, Tuhan memberikan penghargaan dengan julukan “Nabi yang taat kepada Tuhan dan berkenan di hati-Nya” (Kisah Para Rasul 13:22).

Nabi Yakub menikahi banyak wanita yang memiliki hubungan darah. Toh, Yakub tidak dibenci Tuhan. Semasa hidunya, Allah justru menampakkan diri keada Yakub sebagai Allah Yang Maha Kuasa (Keluaran 6:2). Bahkan, Tuhan menjanjikan akan memberikan sebuah negeri pada keturunan Yajub (Keluaran 33:1). “Yakub adalah nabi yang diberkati Tuhan, berada dalam kerajaan Sorga (Kerajaan Allah) bersama dengan Abraham, Ishak dan semua nabi Allah,” (Matius 8:11), Lukas 13:28).

Labi Lot (Luth), dalam Bibel juga disebut memoligami dua kakak beradik hingaa beranak-pinak. Tapi, Tuhan tidak menegurnya sebagai orang yang berdosa karena berpoligami. Bahkan, Tuhan membeirkan pujian kepada Lot sebagai orang yang benar dan taat jepada Tuhan (II Petrus 2:7).

Bahkan, Nabi Salomo (Sulaiman) dalam Bibel diceritakan sebagai nabi superpoligami dengan koleksi istri terbanyak di dunia. Tuhan juga tidak mencelanya, sebagai tindakan maksiat. Tuhan justru menyayngi Salomo sebagai orang yang sudah dipilih Tuhan sejak bayi menjadi hamba-Nya yang akan mendirikan Bait Allah (I Tawarikh 22:9-10).

Pada masa Yesus, jika praktik poligami ini tercela dan hrus dihapus, pasti yesus menyikapinya dengan tegas. Ternyata, Yesus tidak pernah menghapus aturan tentang poligami yang diterapkan para Nabi terdahulu. “Janganlah kamu menyangka, bahw aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya,” (Matius 5:17).

Dalam buku Sex in The Bible, halaman 5 disebutkan, Yesus sendiri -meski Bibel tak menceritakan- apakah dia pernah menikah dan berpoligami? Tapi, Ia tak pernah komplain ketika murid terkasihnya, Petrus, menikah berulangkali. Yesus tak mengecam apalagi menyuruh Petrus menceraikan istri-istrinya. Ini menunjukkan, Yesus tidak mengharamkan poligami.


Sikap Yesus ini bisa dimaklumi, karena leluhur Yesus sendiri adalah pelaku poligami (silsilah leluhur Yesus ada di Injil Matius 1:1-17).


Poligami Dalam Alkitab (1)
Pertanyaan poligami adalah pertanyaan yang menarik di mana kebanyakan orang memandang poligami sebagai tidak bermoral sementara Alkitab tidak secara jelas mengutuk hal itu. Contoh pertama dari poligami/bigami dalam Alkitab adalah Lamekh dalam Kejadian 4:19: “Lamekh mengambil istri dua orang.” Beberapa orang terkenal dalam Perjanjian Lama adalah poligami. Abraham, Yakub, Daud, Salomo, dan yang lainnya semua mempunyai banyak istri. Dalam 2 Samuel 12:8, Allah, berbicara melalui nabi Natan, berfirman bahwa seandainya istri-istri dan gundik-gundik Daud belum cukup, Dia akan menambah lagi kepada Daud. Salomo mempunyai 700 istri dan 300 gundik (pada dasarnya istri dengan status yang lebih rendah), menurut 1 Raja-raja 11:3. 

Bagaimana kita menjelaskan contoh-contoh poligami dalam Perjanjian Lama ini? 
Ada tiga pertanyaan yang perlu dijawab:
1. Mengapa Allah mengizinkan poligami dalam Perjanjian Lama? 
2. Bagaimana Allah memandang poligami sekarang ini?
3. Mengapa berubah?

Penjelasan 
1. Mengapa Allah mengizinkan poligami dalam Perjanjian Lama? Alkitab tidak secara spesifik mengatakan mengapa Allah mengizinkan poligami. Ketika kita berspekulasi tentang kebungkaman Allah, ada beberapa faktor kunci untuk dipertimbangkan, Pertama, selalu lebih banyak perempuan daripada laki-laki di dalam dunia. Statistik sekarang menunjukkan bahwa kira-kira 50,5 persen dari populasi dunia adalah perempuan, dengan laki-laki 49,5 persen. Dengan menganggap persentase yang sama pada zaman dahulu, dan dilipatgandakan dengan jutaan manusia, maka akan ada puluhan ribu perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Kedua, peperangan pada zaman dahulu kala sangat kejam, dengan kematian yang luar biasa tinggi. Hal ini bahkan akan mengakibatkan perbedaan persentase yang lebih besar antara perempuan dan laki-laki. Ketiga, karena dalam masyarakat patriarki hampir tidak mungkin bagi perempuan yang tidak menikah untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri. Para perempuan sering kali tidak berpendidikan dan tidak terlatih. Para perempuan bergantung kepada ayah, saudara laki-laki, dan suami mereka untuk penyediaan kebutuhan hidup dan perlindungan. Perempuan yang tidak menikah sering kali diperlakukan sebagai pelacur dan budak. Perbedaan yang berarti antara jumlah perempuan dan laki-laki akan meninggalkan banyak perempuan dalam situasi yang tidak diinginkan.

Jadi, tampaknya Allah mengizinkan poligami untuk melindungi dan mencukupi para perempuan yang, jika tidak, tidak dapat menemukan suami. Seorang laki-laki akan mengambil beberapa istri dan berfungsi sebagai pemberi nafkah dan pelindung bagi mereka. Walaupun tentu tidaklah ideal, hidup dalam rumah tangga poligami, adalah jauh lebih baik daripada pilihan lainnya: pelacuran, perbudakan, atau kelaparan. Sebagai tambahan kepada faktor perlindungan/pemberian nafkah, poligami memungkinkan berkembangnya umat manusia dengan lebih cepat, untuk menggenapi perintah Allah untuk “beranakcuculah dan bertambah banyak; sehingga tak terbilang jumlahmu di bumi” (Kejadian 9:7). Laki-laki mampu menghamili beberapa perempuan dalam kurun waktu yang sama, menyebabkan umat manusia bertambah lebih cepat daripada jika masing-masing laki-laki hanya menghasilkan seorang anak setiap tahun.

2. Bagaimana Allah memandang poligami sekarang ini? Bahkan saat poligami diizinkan, Alkitab mengajukan monogami sebagai rencana yang paling sesuai dengan pernikahan yang ideal bagi Allah. Alkitab mengatakan bahwa maksud Allah yang semula adalah untuk satu orang laki-laki menikah dengan satu orang perempuan saja: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya (bukan isteri-isteri), sehingga keduanya menjadi satu daging (bukan daging-daging)” (Kejadian 2:24). Walaupun Kejadian 2:24 lebih menggambarkan apa itu pernikahan, daripada berapa orang yang terlibat, penggunaan kata tunggal yang konsisten seharusnya diperhatikan. Dalam Ulangan 17:14-20, Allah berkata bahwa raja-raja tidak seharusnya memperbanyak istri (atau kuda atau emas). Walaupun ini tidak bisa ditafsirkan sebagai perintah bahwa raja-raja harus monogami, bisa dimengerti sebagai pernyataan bahwa memiliki banyak istri menyebabkan masalah. Hal ini bisa dilihat dengan jelas dalam kehidupan Salomo (1 Raja-raja 11:3-4).

Dalam Perjanjian Baru, 1 Timotius 3:2, 12 dan Titus 1:6 memberikan “suami dari satu istri” dalam satu daftar kualifikasi untuk kepemimpinan rohani. Ada beberapa perdebatan sehubungan dengan apa maksud kualifikasi ini secara spesifik. Susunan kata itu bisa diterjemahkan secara harafiah “laki-laki satu perempuan.” Apakah frasa ini secara khusus merujuk kepada poligami atau tidak, tidak masuk akal seorang penganut poligami bisa dianggap sebagai “laki-laki satu perempuan.” Walaupun kualifikasi-kualifikasi ini adalah secara spesifik untuk posisi kepemimpinan rohani, kualifikasi-kualifikasi ini seharusnya sama diterapkan untuk semua orang Kristen. Bukankah seharusnya semua orang Kristen menjadi “yang tak bercacat…dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, bukan peminum, bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang” (1 Timotius 3:2-4)? Jika kita dipanggil untuk menjadi kudus (1 Petrus 1:16), dan jika standar-standar ini adalah kudus untuk para penatua dan diaken, maka standar-standar ini kudus untuk semua.

Efesus 5:22-33 berbicara tentang hubungan antara suami dan isteri. Ketika menunjuk kepada seorang suami (bentuk tunggal), selalu juga menunjuk kepada seorang isteri [bentuk tunggal]. “Karena suami adalah kepala isteri [bentuk tunggal] … Siapa yang mengasihi isterinya [bentuk tunggal], mengasihi dirinya sendiri. Sebab itu laki-laki [bentuk tunggal] akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya [bentuk tunggal], sehingga keduanya itu menjadi satu daging….bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu [bentuk tunggal] seperti dirimu sendiri dan isteri [bentuk tunggal] hendaklah menghormati suaminya [bentuk tunggal].” Sementara satu bagian yang hampir paralel, Kolose 3:18-19, menunjuk kepada suami-suami dan isteri-isteri dalam bentuk jamak, jelaslah bahwa Paulus menujukan kepada semua suami dan istri di antara orang-orang percaya di Kolose, bukan menentukan bahwa seorang suami boleh mempunyai banyak isteri. Secara kontras, Efesus 5:22-33 menggambarkan secara spesifik hubungan perkawinan.

Jika poligami bisa diizinkan, keseluruhan ilustrasi hubungan Kristus dengan tubuh-Nya (jemaat) dan hubungan suami-isteri menjadi berantakan.

3. Mengapa berubah? Bukannya Allah tidak mengizinkan sesuatu yang sebelumnya Dia izinkan namun ini merupakan pemulihan pernikahan sesuai dengan rencana-Nya yang mula-mula. Bahkan kembali kepada Adam dan Hawapun, poligami bukanlah rencana Allah mula-mula. Tampaknya Allah mengizinkan poligami untuk mengatasi masalah, tetapi itu bukan yang ideal. Dalam kebanyakan masyarakat modern, poligami sama sekali tidak perlu. Dalam kebanyakan budaya hari ini, perempuan mampu mencari nafkah dan melindungi diri mereka sendiri menghapuskan satu-satunya aspek “positif” poligami. Selanjutnya, kebanyakan bangsa modern menyaakan poligami tidak sah. Menurut Roma 13:1-7, kita harus menaati hukum-hukum yang pemerintah tetapkan. Satu-satunya contoh dalam mana tidak menaati hukum diizinkan oleh Alkitab adalah jika hukum itu bertentangan dengan perintah Allah (Kisah 5:29). Karena Allah hanya mengizinkan poligami, dan tidak memerintahkannya, hukum yang melarang poligami harus ditegakkan.

Apakah ada contoh-contoh di mana izin untuk poligami masih dapat diterapkan sekarang ini? Mungkin, tetapi tidak terbayang bahwa sama sekali tidak ada solusi yang lain. Karena aspek “satu daging” dari pernikahan, perlunya kesatuan dan kecocokan dalam pernikahan, dan tidak adanya kebutuhan yang sejati untuk poligami, maka dengan teguh kita percaya bahwa poligami tidak menghormati Allah dan bukanlah rancangan-Nya untuk pernikahan.


Poligami Dalam Alkitab (2)
Pertanyaan:Abraham bersalah bukan karena ia mengambil Hagar, tetapi ia tidak memegang janji Tuhan akan keturunannya melalui Sara ; Abraham berusaha menggenapi rencana Allah dengan caranya sendiri melalui Hagar (abraham tidak taat akan janji Allah)- meskipun janji Allah hanya diberikan melalui Sara.

Salomo jatuh bukan karena istri banyak..tapi ia beristri dengan perempuan - perempuan yang tidak seiman sehingga mereka membelokan imannya;

Daud dihukum juga bukan karena ia beristri banyak, tetapi ia mengambil istri orang dan menempatkan suaminya di medan perang untuk terbunuh....(2 Samuel 12:8-9) Bahkan Tuhan akan menambahkan kepada Daud jika ia merasa belum cukup dengan isteri-isterinya..ayat 8; tapi Tuhan membenci cara daud mengambil istri orang dan membunuh suaminya ayat 9,

Ketika Musa melakukan poligami dengan mengambil perempuan kush (bilangan 12:1) ; Harun dan Maryam tidak puas dan mempermasalahkan kepemimpinan Musa..ketika mereka ber- 3 menghadap Allah, justru Allah tidak menyalahkan Musa yang sebagai pemimpin kok melakukan poligami dan memberikan contoh yang tidak baik; Allah membela Musa dan menghukum Maryam.

Tanggapan: Terlihat argumen di atas cukup kuat, namun jika kita menelitinya secara cermat, argumen tersebut hanya menekankan pada sebagian kebenaran yaitu dalam PL Allah tidak melarang poligami, tetapi kebenaran lainnya Allah pun tidak menganjurkan atau memerintahkan untuk melakukannya. Sejak awal prinsip moral hubungan yang ideal adalah menjadi satu daging (Adam & Hawa/Kej 2:23-24) identik dengan prinsip monogami. Namun perintah Allah yang mengatur kehidupan umatnya nanti diberikan kepada Musa (Taurat). Sebelum adanya Taurat pola hidup berpoligami telah terjadi sehingga Taurat perlu mengaturnya dengan memberikan persyaratan dan aturan ketat. Tetapi Taurat tidak pernah memberi perintah/anjuran untuk melakukannya.

Kel 21:10 "Jika tuannya itu mengambil perempuan lain, ia tidak boleh mengurangi makanan perempuan itu, pakaiannya dan persetubuhan dengan dia".

Dari aturan tersebut sangat jelas seseorang harus memiliki tingkat moral tinggi, karena secara manusiawi sangatlah sulit berlaku adil terhadap beberapa orang istri baik kebutuhan materi, perhatian termasuk mengatur hubungan intim.

Alkitab memaparkan banyak masalah terjadi seputar kehidupan berpoligami, justru masalah-masalah itu dihadapi oleh beberapa nabi itu sendiri, apalagi hanya manusia biasa saja. Mulai dari kisah Lamekh yang identik dengan kekerasan, Abraham-Hagar yang menimbulkan perselisihan, Yakub-Rahel/Lea adanya iri hati, Musa yang menimbulkan masalah dengan Harun/Maryam, Salomo terpengaruh isteri-isterinya dan Daud yang menjadi kalap. Memang benar  tidak secara tegas dinyatakan mereka salah berpoligami, tetapi dampak dari poligami itu menimbulkan banyak masalah. Sehingga potret ini memberi makna mendalam bahwa poligami bukanlah standar moral ideal, karena para nabipun mengalami banyak masalah dengan hal ini.


Kisah Musa dengan Harun/Maryam
Bil 12:1 "Miryam serta Harun mengatai Musa berkenaan dengan perempuan Kush yang diambilnya, sebab memang ia telah mengambil seorang perempuan Kush.".

Kita harus melihat peristiwa ini dari perspektif masa itu. Pola poligami masih menjadi hal biasa pada masa itu, Miryam & Harun bukanlah berarti mereka telah memiliki pemahaman moral yang lebih tinggi dari Musa. Perkataan mereka kepada Musa hanyalah alasan non moral yaitu menyangkut perempuan asing bukan orang Israel. Pada masa itu bangsa Israel dalam perjalanan pengembaraan di padang pasir, sehingga perempuan itu walaupun bukan orang Israel telah menjadi seperti orang Israel yang mau ikut serta dalam perjalanan sulit tersebut. Sudah tentu ikut menyembah Allahnya bangsa Israel.

Pada ayat selanjutnya, yang menjadi inti kemarahan Tuhan kepada mereka
Bil 12:2 Kata mereka: "Sungguhkah TUHAN berfirman dengan perantaraan Musa saja? Bukankah dengan perantaraan kita juga Ia berfirman?" Dan kedengaranlah hal itu kepada TUHAN."
Mereka mempertanyakan otoritas Musa yang paling utama/istimewa diantara mereka. Hal inilah yang membuat Tuhan marah. Dengan tegas Tuhan menyatakan keistimewaan Musa dibanding mereka

Bil 12:6 Lalu berfirmanlah Ia: "Dengarlah firman-Ku ini. Jika di antara kamu ada seorang nabi, maka Aku, TUHAN menyatakan diri-Ku kepadanya dalam penglihatan, Aku berbicara dengan dia dalam mimpi.
Bil 12:7 Bukan demikian hamba-Ku Musa, seorang yang setia dalam segenap rumah-Ku.
Bil 12:8 Berhadap-hadapan Aku berbicara dengan dia, terus terang, bukan dengan teka-teki, dan ia memandang rupa TUHAN. Mengapakah kamu tidak takut mengatai hamba-Ku Musa?"
Bil 12:9 Sebab itu bangkitlah murka TUHAN terhadap mereka, lalu pergilah Ia

Jadilah jelaslah, kemarahan Tuhan kepada Miryam/Harun bukanlah masalah poligami seakan-akan Tuhan membela poligami, tetapi karena mereka mencoba mempertanyakan otoritas/keistimewaan Musa.

Kisah Daud
2 Sam 12:7 Kemudian berkatalah Natan kepada Daud: "Engkaulah orang itu! Beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Akulah yang mengurapi engkau menjadi raja atas Israel dan Akulah yang melepaskan engkau dari tangan Saul.
2 Sam 12:8 Telah Kuberikan isi rumah tuanmu kepadamu, dan isteri-isteri tuanmu ke dalam pangkuanmu. Aku telah memberikan kepadamu kaum Israel dan Yehuda; dan seandainya itu belum cukup, tentu Kutambah lagi ini dan itu kepadamu.

Sekilas ayat-ayat ini memberi kesan Allah memerintahkan agar Daud berpoligami bahkan memberikan lagi isteri-isteri jika Daud mau.
Pertama-tama kita harus garis bawahi arti literal dari kalimat tersebut yaitu "Daud diberikan isteri-isteri Saul". Untuk memahami pernyataan ini kita harus melihat konteks budaya Ancient Near East pada masa itu.

- Perkawinan para bangsawan/raja merupakan masalah nasional sebuah bangsa, bukanlah sekedar masalah pribadi dari raja tersebut.

"Marriage was a tool of diplomacy throughout the ancient Near East. Towns, city-states, tribes or nations who wished to ally themselves with a rule or come under his protection sealed the treaty with a marriage of a daughter of their chief family to the suzerain or his son. This was an act of loyalty on the part of the vassal, who would then have a personal stake in preserving the dynasty. [Zondervan Illustrated Bible Backgrounds Commentary: Old Testament. John Walton (ed). Zondervan:2009.)

Hal ini pulalah yang melatarbelakangi mengapa raja Salomo memiliki banyak isteri, yang umumnya karena perkawinan dengan faktor politik diplomasi kerajaan.

- Suksesi kerajaan saat kematian seorang raja (otomatis isteri-isterinya menjadi janda), menjadi tanggungjawab dan perhatian dari pemerintahan raja yang baru.

"Since royal marriages were a reflection of the power of a monarch and represented political and economic alliances made in the name of the state, it would have been necessary, at the succession, for the harem of the former king to become the responsibility of the new monarch. In this way there was continuity of treaty obligations." [Zondervan Illustrated]

Jadi yang dimaksud dengan "Daud diberikan istri-istri Saul" merupakan sebuah model budaya kerajaan pada masa itu, yaitu isteri-isteri Saul yang menjanda telah menjadi tanggungjawab/perlindungan & penguasaan dari Daud. Bahkan dalam Alkitab anggota keluarga dari Saul menjadi perhatian Daud misalnya kisah Mefiboset.

Sehingga 2 Sam 12:8 tidak harus dipahami bahwa Allah memerintahkan untuk melakukan poligami, atau memberikan isteri-isteri agar Daud berpoligami. Tetapi Allah telah memberikan seantero kerajaan Israel dari Saul kepada Daud. Pemberian isteri-isteriSaul kepada Daud bukan dalam pemahaman urusan personal, tetapi bagian dari identitas sebuah kerajaan yang otomatis menjadi milik raja yang baru.

Seiring perjalanan waktu, secara alamiah umat Israel menjadi belajar bahwa poligami bukan praktek hidup yang perlu diikuti. Sehingga pada periode pasca pembuangan Babel kisah-kisah seputar poligami sudah kurang/tidak ditemukan lagi dalam kitab-kitab PL dan ini terus berlanjut sampai masa Kristus.

Di kalangan masyarakat Yunani, monogami lebih mendominasi
"Even though we may find numerous traces of polygamy and polyandry in the Gk. myths, monogamy predominated in the Gk. world in the historical period. Morality within marriage was strict. The Homeric hero had one wife, who was faithful and inviolable, a good manager of the home and mother. Gk. marriage was monogamous. [New International Dictionary of New Testament Theology, Colin Brown, eds. Zondervan: "Marriage, adultery, bride, bridegroom"]

Bahkan di masyarakat Romawi, poligami sudah tidak dipraktekkan.
"Polygamy was not practiced in the Roman world outside Palestine, though illegal bigamy and certainly adultery were" The Expositor's Bible Commentary. Gaebelein, Frank E., ed., Vol I. Zondervan, 1979

Di kalangan Yahudi termasuk di komunitas Qumran (Dead Sea Scroll) poligami dilarang.
"During the Second Temple period, monogamy was preferred even on the conceptual plane by, above all, the Dead Sea Sect whose halakhah explicitly prohibited polygamy. In the reworked version of the statutes of the king in the Temple Scroll, it is stated: "he shall not take another wife in addition to her, for she alone shall be with him all the days of her life"
"it was known in Jewish society as represented in rabbinic literature, polygamy was not widespread in practice, especially not among the sages themselves."
[Jewish Women in Greco-Roman Palestine, Tal Ilan, Hendrickson:1995)

Sejak masa Yesus prinsip monogami menjadi prinsip moral utama yang kemudian diteruskan dalam kehidupan jemaat mula-mula dan gereja
- Justin Martyr (c.160):
"Your imprudent and blind masters [i.e., Jewish teachers] even until this time permit each man to have four or five wives. And if anyone sees a beautiful woman and desires to have her, they quote the doings of Jacob." [ANF, vol. 1, p. 266]
- Irenaeus (c.180)
"Others, again, following upon Basilides and Carpocrates, have introduced promiscuous intercourse and a plurality of wives..." [ANF, vol. 1, p.353]
- Tertullian (c.207)
"Chapter II.-Marriage Lawful, But Not Polygamy. We do not indeed forbid the union of man and woman, blest by God as the seminary of the human race, and devised for the replenishment of the earth and the furnishing of the world, and therefore permitted, yet Singly. For Adam was the one husband of Eve, and Eve his one wife, one woman, one rib. (ANF: Tertullian, To His Wife)

-Methodius (cf.290):
"The contracting of marriage with several wives had been done away with from the times of the prophets. For we read, 'Do not go after your lusts, but refrain yourself from your appetites'...And in another place, 'Let your fountain be blessed and rejoice with the wife of thy youth.' This plainly forbids a plurality of wives." [ANF, vol. 6, p.312]

Berdasarkan data ini, lahirnya budaya poligami pada abad-abad berikutnya merupakan sebuah kemunduran sejarah.

Yesuspun memberi peneguhan prinsip monogami yang merupakan standar moral ideal
Mat 19:7 Kata mereka kepada-Nya: "Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?"
Mat 19:8 Kata Yesus kepada mereka: "Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.
Mat 19:9 Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah."

Dialog antara orang Farisi dan Yesus memang membahas masalah perceraian, sehingga beberapa orang berargumen Yesus tidak membahas poligami atau tidak melarang poligami. Namun argumen itu tidak memperhatikan ayat-ayat sebelumnya.

Mat 19:3 Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?"
Mat 19:4 Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?
Mat 19:5 Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
Mat 19:6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."

Jadi jelaslah walaupun perikop ini membahas perceraian namun bersamaan itu pula Yesus menekankan prinsip monogami. Yesus menegaskan prinsip ideal sama seperti pada awal penciptaan Adam & Hawa satu daging (Kej 2:23-24). Perhatikan kata kunci "keduanya" menjadi "satu daging". Pada saat seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan maka mereka menjadi satu daging, dari "dua" terkunci menjadi "satu". Setelah itu otomatis diberlakukan larangan untuk bercerai, sehingga peluang untuk berpoligami menjadi tertutup. Jika dilanggar (berpoligami) maka disebut berzinah.

Kita bisa melihat standar perkawinan dari waktu ke waktu semakin tinggi dan berpuncak pada pernyataan tegas Kristus mengenai prinsip monogami sebagai standar moral ideal. Banyak aturan-aturan dalam Taurat menyangkut moral dalam Perjanjian Lama diberikan makna semakin dalam oleh Kristus.

PL: Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah (Mat 5:27)
PB: Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. (Mat 5:28)

PL: Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. (Mat 5:43)
PB: Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. (Mat 5:44)

Dan jika membuat analoginya berkaitan dengan poligami
PL : Poligami tidak dilarang dan tidak dianjurkan, tetapi sebaiknya jangan berpoligami karena banyak dampak negatifnya, bahkan para nabipun mengalami masalah dengan hal itu.
PB : Jangan berpoligami! Jika melakukannya anda telah berzinah dan melanggar hukum Allah.

Kesimpulan:
1. Kitab perjanjian Lama "membolehkan  Poligami", karena Nabi-nabi terdahulu pun melakukan poligami.
2. Kitab perjanjian baru  orang kristen menganggap lebih baik monogami karena bagi seorang kristian pernikahan adalah seumur hidup dan jika melakukan poligami menganggap telah berjinah. Sungguh tak masuk di akal melakukan poligami dengan melakukan pernikahan sesama kristen dianggap berjinah. Lantas bagaimana jika melakukan hubungan bebas diluar Istri yang sah???


3. Poligami Menurut Agama Islam
Poligami Ala Rosulullah
John L. Esposito, Professor Religion and Director of Center for International Studies at the College of the holly cross, mengatakan bahwa hampir keseluruhan perkawinan Nabi Muhammad saw. adalah mempunyai misi sosial dan politik (political and social motives) (Islam The straight Path, Oxford University Press, 1988).

Dalam sejarah hidup nabi Muhammad, nabi baru melakukan poligami setelah istri pertama beliau yaitu Khadijah wafat. Selama Khadijah ra hidup,  Nabi Muhammad SAW selalu setia menemaninya. Kematian Khadijah ra  merupakan pukulan berat bagi perjuangan "Dakwah-Nabi". Setelah kematian Khadijah ra, barulah nabi Muhammad melakukan poligami dengan berbagai alasan dari politik sampai ekonomi yang intinya melakukan perlindungan bagi sang istri juga kerabatnya.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa jumlah istri yang dipoligami nabi lebih dari 4 (total sekitar 11)?. Padahal dalam surat An-Nisa 4:3 dikatakan maksimal 4. Untuk meluruskan persepsi ini alangkah baiknya jika kita melihat lagi ayat An-Nisa 4 tersebut dibawah ini:

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya" (QS An-Nisa 4 :3).

Jika kita perhatikan dengan teliti ayat diatas sebenarnya sudah jelas sekali penjelasannya. Jika anda membaca, maka anda akan menemukan kata “Jika kamu takut tidak akan berlaku adil”. Nah, kepada siapakah kata-kata itu ditujukan?. Kata itu ditujukan kepada Pengikut nabi Muhammad SAW. Jadi batasan jumlah 4 istri itu berlaku bagi pengikut nabi bukan termasuk nabi. Mengapa? Karena nabi Muhamad SAW adalah orang teradil sepanjang sejarah perjalanan hidup manusia. Itulah mengapa Allah mengangkat Nabi saat usia 40 tahun. Dan itulah mengapa banyak para nabi Allah seperti Daud, Ibrahim dll, berpoligami dan ada yang lebih dari 4. Itu karena mereka benar-benar orang yang adil.  Poligami Nabi Muhammad memiliki pengertian sebagai berikut:

1. Soal menikahi janda, banyak manusia tidak mau karena alasan ini itu, dan nabi sudah mengajari ribuan tahun lalu agar tidak ada keberatan bagi kita untuk menikahi janda.
2. Nabi menikahi istri pertama (Siti Khadijah ra ) yang usianya hampir 2 kali usia Nabi, supaya tak ada keberatan bagi kita untuk menikahi wanita yang lebih tua.
3. Nabi menikahi Aisyah ra yang masih muda, agar para gadis tak ada keberatan jika dilamar oleh duda (pemuda) yang sudah berumur, tetapi akhlaknya baik dan bertanggung jawab.
4. Nabi menikahi bekas budak, biar tak ada keberatan bagi kita untuk menikahi hamba sahaya.
5. dll

Semuanya adalah istri-istri nabi Muhammad SAW yang dinikahi dalam nuansa poligami. Dan perlu dipraktekkan oleh nabi sebagai teladan dan biar tidak dibilang teori saja. Jadi jika nabi berpoligami untuk alasan seks, 11 aja tidak cukup, ada ribuan wanita bahkan ratusan ribu yang mengantri disana jika Nabi Muhammad SAW mau.


Kontroversi Poligami oleh Ali bin Abi Thalib
Nabi Muhammad saw marah besar ketika mendengar putrinya [Fatimah az-Zahra], akan dimadu oleh Ali bin Abi Thalib. Ketika mendengar kabar itu, nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga". (Jami’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

Para penentang poligami kerap menggunakan hadits diatas untuk menolak dibolehkannya poligami, namun sebenarnya, hadits tentang kejadian yang sama dalam versi yang lebih lengkap menceritakan bahwa marahnya Nabi Muhammad dikarenakan oleh calon yang hendak diperistri Ali adalah putri dari Abu Jahal, yakni salah satu musuh Islam saat itu.

"Abu Yamân meriwayatkan kepada kami dari Syu'aib dari Zuhri dia berkata, Ali ibn Husain meriwayatkan kepadaku bahwa Miswar ibn Makhramah berkata, Sesungguhnya Ali meminang anak perempuan Abu Jahal. Kemudian Fatimah mendengar tentang hal itu lalu kemudian dia datang kepada rasulullah S.A.W dan berkata, "Kaummu mengira bahwa kamu tidak marah karena putri-putrimu, dan ini Ali (ingin) menikahi anak perempuan Abu Jahal." Lalu rasulullah S.A.W berdiri, maka dia pun berdiri. Kemudian aku mendengarkan Dia ketika mengucapkan tasyahhud (seperti pada khutbah) dan berkata, "Amma Ba'd, Aku telah menikahkan Abu Âsh ibn Rabî' kemudian dia berbicara kepadaku dan jujur kepadaku, dan sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku dan aku tidak senang ada sesuatu yang menyakitinya. Demi Allah, tidak berkumpul anak perempuan rasulullah S.A.W dengan anak perempuan musuh Allah pada satu laki-laki." Kemudian Ali meninggalkan pinangannya". (Hadits Sahih Bukhari, nomor. 342, Hadits Sahih dan diriwayatkan oleh Imam Muslim (halaman 1903-1904), Abu Daud (nomor 2069), Ibnu Majah (hadits (1999) dan al-Muzzi menisbatkannya juga kepada riwayat Nasa`i.)


Poligami adalah salah satu di antara syariat Islam. Poligami juga adalah syariat yang banyak juga ditentang di antara kaum muslimin. Yang katanya merugikan wanita, menurut mereka yang memegang kaedah emansipasi perempuan.

Namun poligami sendiri bukanlah seperti yang mereka pikirkan. Para ulama menilai hukum poligami dengan hukum yang berbeda-beda.


1. ”Rukun dan Syarat Berpoligami“
Berilmu Sebelum Beramal Rukun dan syarat pernikahan berpoligami secara umum sama dengan rukun dan syarat pernikahan pertama yang disyariatkan dalam Islam. Namun, ada beberapa syarat yang ditambahkan yang wajib dipenuhi ketika ingin menunaikan poligami.

Sebelum kita membicarakan syarat  tersebut lebih jauh, kami menasihati diri kami pribadi secara khusus dan para pembaca secara umum bahwa agama Islam mewajibkan kita semua untuk berilmu dahulu sebelum mengerjakan suatu amalan. Agama ini pun tegak dan berdiri di atas prinsip yang agung tersebut: al-’ilmu qablal qauli wal ‘amal.

Inilah yang dinyatakan oleh al-Imam al-Bukhari t dalam satu bab dari “Kitab al-’Ilmi” pada kitab Shahih beliau. Artinya, ilmu dahulu sebelum ucapan dan amalan. Karena itu, seseorang tidak dianggap menunaikan amalan dengan benar dan di atas petunjuk/syariat yang benar apabila dia mengamalkan sebuah amalan tanpa mengetahui ilmunya terlebih dahulu.

Yang pertama kali dituntut dari orang yang hendak menikah adalah berilmu sebelum dia melangsungkan pernikahannya tersebut, sehingga dia dan istrinya bisa menjalaninya dengan lurus. Sebab, pernikahan pertama saja memiliki banyak masalah yang membutuhkan bimbingan ilmu, lebih- lebih bila hendak berpoligami. Dalam poligami akan dijumpai lebih banyak masalah dibandingkan dengan pernikahan dengan satu istri.

Maka dari itu, di dalam lubuk hati seorang muslim yang bijak semestinya tertanam prinsip yang sangat mendasar dan pokok ini, yang merupakan inti dan ushul dari manhaj yang haq, manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah, yakni tidak mengerjakan sebuah amalan sebelum dia mengetahui ilmunya.

Pihak yang akan berpoligami hendaknya benar-benar membekali diri dengan ilmu, baik sebelum maupun selama menjalaninya. Dengan demikian, jalannya akan lurus dan terbimbing, tidak serampangan dan tidak menjadi fitnah. Kenyataan yang kita saksikan, banyak suami yang berpoligami hanya bermodal semangat tanpa berdasar ilmu yang benar.

Akibatnya, rumah tangga yang lama hancur atau rumah tangga yang baru bubar. Istri tua dan istri muda adu mulut di depan orang banyak, pertengkaran antara dia dan istrinya tak terelakkan sehingga ribut-ributnya terdengar oleh tetangga. Ujung-ujungnya, orang menyalahkan poligami. “Itu semua akibat kawin lagi,” kata mereka. Orang yang antipoligami bertambah antipati, dan orang yang tadinya tidak tahu menjadi tidak suka dengan poligami. Ya, urusannya menjadi fitnah. Aturan Allah l dibenci karenanya, wallahul musta’an.

Sekali lagi, walaupun poligami adalah hak lelaki, namun tidak sepantasnya seorang suami melangkah serampangan tanpa bimbingan ilmu. Jangan karena salah melangkah dan tanpa bersikap hikmah, dia hancurkan semuanya: agama, rumah tangga, dan masa depan anak anaknya. Wallahul musta’an.

Rukun dan Syarat Poligami
Sebagaimana telah disampaikan di atas, rukun dan syarat pernikahan yang disyariatkan dan ditetapkan dalam Islam pada pernikahan pertama juga menjadi rukun dan syarat yang disyariatkan dalam pernikahan poligami. Sebab, keduanya sama-sama pernikahan yang disyariatkan dalam Islam. Jadi, ketika seseorang berpoligami, dia wajib memenuhi rukun dan syarat tersebut, ditambah beberapa syarat yang disebutkan oleh para ulama yang akan kami sebutkan, insya Allah.

Para ulama menyebutkan dua syarat yang Allah Subhanahu wata’ala sebut dalam al-Qur’an ketika seorang lelaki hendak berpoligami, dan syarat lainnya yang disebutkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

1. Jumlah istri yang paling banyak dikumpulkan adalah empat, tidak boleh lebih.
2. Dia bisa berbuat dan berlaku adil di antara para istri.
3. Adanya kemampuan jasmani dan nafkah dalam bentuk harta. Syarat yang pertama: Allah Subhanahu wata’ala membolehkan seorang lelaki yang hendak berpoligami untuk menikahi sampai empat perempuan. Dalilnya bisa kita lihat berikut ini.

1. Dalil dari al-Qur’anul Karim

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
“Jika kalian khawatir tidak bisa berbuat adil terhadap perempuan yatim (bila kalian menikahinya), maka nikahilah perempuan-perempuan lain yang halal bagi kalian untuk dinikahi; (apakah) dua, tiga, atau empat….” (an-Nisa: 3)

Ibnu al-Anbari rahimahullah berkata, “Huruf wawu (الوَاوُ) di sini maknanya tafarruq/ pemisahan, bukan pengumpulan. Dengan demikian, maknanya adalah nikahilah oleh kalian (para lelaki) wanita-wanita yang kalian senangi sebanyak dua orang, dan nikahi tiga wanita selain keadaan yang pertama, dan nikahi empat orang wanita selain dua keadaan yang telah disebutkan.” (Zadul Masir fi Ilmit Tafsir, Ibnul Jauzi, 2/8)

Al-Hafizh Ibnu Katsir radhiyallahu ‘anhu menyatakan, ayat ini tidaklah membolehkan pengumpulan bilangan tersebut (yaitu jumlah 2, 3, dan 4). Kalau boleh, niscaya akan disebutkan. Sebab, ayat ini berisi pemberitaan tentang anugerah yang diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan kebolehan dari-Nya untuk menikahi lebih dari seorang wanita. (Tafsir al-Qur’anil Azhim, 2/149)

Dengan demikian, yang dimaukan oleh ayat adalah disuruh memilih di antara bilangan yang disebutkan, bukan mengumpulkan jumlah tersebut. (al- Majmu, 17/212)

Mengapa hal ini perlu ditekankan? Karena ada yang berpendapat, wawu tersebut menunjukkan pengumpulan, seperti anggapan al-Qasim bin Ibrahim dan kelompoknya, al-Qasimiyah. Mereka menguatkan pendapat mereka dengan perbuatan Nabi n mengumpulkan sembilan istri. Bahkan, ada satu sekte dari kelompok Syiah Rafidhah yang membolehkan lelaki menikahi berapa pun wanita yang diinginkannya. (al- Majmu, 17/212)

Selain itu, sebagian pengikut mazhab Zhahiri berpendapat boleh menikahi delapan belas perempuan dengan beralasan mengumpulkan bilangan 2, 3, 4 yang berulang sehingga menjadi 4 ditambah 6 ditambah 8. (lihat Tafsir al-Qurthubi, 5/13)

Al-Imam al-Qurthubi t menjawab pendapat ini dengan menyatakan, semua itu adalah kebodohan terhadap bahasa Arab dan as-Sunnah, serta menyelisihi kesepakatan umat. (Tafsir al-Qurthubi 5/13)

Demikian pula bantahan Ibnul Arabi rahimahullah dalam Ahkamul Qur’an (1/312—313). Adapun pembolehan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan sembilan istri, hal itu adalah kekhususan bagi beliau, tidak berlaku bagi umatnya.


2. Dalil dari as Sunnah
Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwa Ghailan ibnu Salamah ats-Tsaqafi radhiyallahu ‘anhu masuk Islam dalam keadaan memiliki sepuluh istri yang dinikahinya di masa jahiliah, dan para istrinya ini masuk Islam bersamanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun memerintahkan agar Ghailan memilih empat dari mereka (dan menceraikan yang lain). (HR. at-Tirmidzi no. 1128, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)

Sisi pendalilan hadits di atas adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Ghailan untuk memilih hanya empat dari sepuluh istrinya. Artinya, tidak boleh mengumpulkan lebih dari empat istri berdasar perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal asal perintah dari Penetap syariat memberi faedah wajibnya perkara yang diperintahkan, selama tidak ada perkara atau dalil lain yang memalingkannya.Untuk masalah ini, tidak ada dalil yang memalingkannya dari hukum wajib kepada hukum yang lain.


3. Dalil dari ijma’
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menukilkan dari al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah adanya ijma’ atau kesepakatan ahlul ilmi tentang tidak bolehnya selain Rasulullah  mengumpulkan lebih dari empat wanita/istri. (Tafsir al-Qur’anil Karim, 2/149)

Syarat yang kedua: bisa berbuat dan berlaku adil
Secara bahasa, adil adalah inshaf, yaitu memberi seseorang apa yang menjadi haknya dan mengambil darinya apa yang menjadi kewajibannya. (al-Mu’jamul Wasith, 2/588)

Adapun adil di antara para istri dalam bahasa syariat adalah menyamakanpara istri dalam hal mabit (bermalam/ menginap), makan, minum, tempat tinggal, dan pakaian. (Raddul Mukhtar, Ibnul ‘Abidin, 3/378)

Hukum berlaku adil dalam urusan yang disebutkan di atas adalah fardhu atau wajib (Ahkamul Qur’an, 1/313). Jadi, meninggalkannya adalah dosa dan pelanggaran. Dalil tentang syarat yang kedua ini jelas sekali dari firman Allah Subhanahu wata’ala,

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Namun, bila kalian khawatir tidak bisa berlaku adil (di antara para istri bila sampai kalian memiliki lebih dari satu istri) maka nikahilah satu istri saja atau mencukupkan dengan budak perempuan yang kalian miliki….” (an-Nisa: 3)

Ada dua pendapat tentang firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَإِنْ خِفْتُمْ 
Pendapat pertama mengartikannya عَلِمْتُمْ , yakni kalian yakin (tidak bisa berbuat adil). Adapun pendapat kedua memaknainya خَشِيتُمْ , yakni kalian khawatir (tidak bisa berbuat adil). (Zadul Masir fit Tafsir, Ibnul Jauzi, 2/9)

Dengan demikian, apabila seorang lelaki yakin atau khawatir tidak bisa berlaku adil, cukup baginya beristri satu. Sebab, kebolehan memperistri lebih dari seorang wanita berporos pada keadilan. Dengan demikian, ketika kalian bisa adil, lakukanlah! Jika tidak, cukuplah satu atau budak perempuan yang kalian miliki. (Tafsir ath-Thabari, 3/579—580)

Berkaitan dengan ayat 129 dalam surat an-Nisa,

وَلَن تَسْتَطِيعُوا أَن تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ 
“Kalian tidak akan mampu berbuat adil di antara para istri, walaupun kalian sangat ingin berbuat adil. Maka janganlah kalian condong dengan sebenar-benarnya kepada istri yang lebih kalian cintai sehingga kalian membiarkan istri yang lain terkatung-katung.” (an-Nisa: 129)

Yang Allah Subhanahu wata’ala maksudkan adalah adil yang tidak dimampui dan tidak disanggupi dilakukan oleh seorang hamba karena bukan hamba yang mengusahakannya, namun semata-mata pemberian Allah Subhanahu wata’ala, yaitu adil dalam masalah cinta dan kecondongan hati. Karena itu, ahli tafsir mengatakan bahwa makna ayat di atas adalah kalian tidak akan sanggup menyamakan rasa cinta kalian di antara para istri, karena hal itu bukan hasil usaha kalian walaupun kalian sangat ingin berbuat adil dalam hal itu. (Fathul Qadir, 1/695)

Karena ketidakmungkinan berbuat adil dalam perasaan cinta, Allah Subhanahu wata’ala melarang seorang suami mengistimewakan istri yang lebih dicintainya dalam hal nafkah dan pembagian giliran sehingga istri yang lainnya terkatung-katung: tidak menjanda, tidak pula seperti perempuan yang memiliki suami. Allah Subhanahu wata’ala menutup ayat di atas dengan firman-Nya,

وَإِن تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Dan bila kalian mengadakan perbaikan dan bertakwa maka sungguh Allah itu adalah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nisa: 129)

Firman Allah Subhanahu wata’ala,


وَإِن تُصْلِحُوا
 
“Dan bila kalian mengadakan perbaikan,”  yakni dengan berlaku adil dalam hal pembagian giliran.
وَتَتَّقُوا
“dan bertakwa,” maksudnya menjaga diri dari berbuat zalim.

فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Maka sungguh Allah adalah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”,  terhadap kecondongan hati tersebut apabila memang ada. (Zadul Masir fit Tafsir, Ibnul Jauzi, 2/220; Tafsir al-Qur’anil Azhim, 2/317)

Al  Imamath  Thabarit menyatakan dalam tafsirnya terhadap ayat di atas, kaum lelaki atau para suami tidak akan mampu untuk menyamakan istri-istri mereka dalam hal cinta di kalbu mereka, sehingga para suami

tidak bisa berlaku adil dalam hal ini. Pasti ada istri yang lebih mereka cintai daripada yang lain karena memang hal ini di luar kuasa mereka, walaupun mereka berusaha sungguh-sungguh untuk menyamakan cinta di antara istri mereka. Meski demikian, para suami tidak boleh mengikuti hawa nafsunya dengan menampakkan kecenderungan kepada istri yang lebih mereka cintai lantas meninggalkan yang lainnya, sehingga si suami jatuh pada perbuatan zalim terhadap istri yang tidak/kurang dicintai, dengan tidak menunaikan hak mereka berupa beroleh giliran, nafkah, dan pergaulan yang baik. Sebab, kecondongan yang berlebihan kepada istri yang dicintai menyebabkan istri yang lain layaknya perempuan yang tidak bersuami, namun tidak pula menjanda (terkatung-katung). (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, 4/312)

Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah juga menyebutkan bahwa keadilan yang tidak dimampui adalah dalam hal kecondongan secara tabiat, yaitu rasa cinta, jima’, dan tempat dalam kalbu. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 5/261)

Al-Allamah asy-Syinqithi rahimahullah juga menyebutkan demikian karena kecondongan secara tabiat tersebut di luar kuasa manusia. Berbeda halnya dengan berlaku adil dalam hak-hak syar’i, hal itu mampu dilakukan oleh para hamba. (Adhwaul Bayan, 1/425)

Haruskah Adil dalam Urusan Jima’ (Berhubungan Badan)? Al-Imam Ibnu Qudamah t berkata, “Kami tidak mengetahui perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang tidak wajibnya menyamakan di antara para istri dalam hal jima’. Ini adalah mazhab Malik dan asy-Syafi’i.

Sebab, jima’ itu jalannya adalah syahwat dan kecondongan, serta tidak ada jalan untuk menyamakan di antara para istri dalam hal ini karena kalbu seseorang terkadang lebih condong kepada salah seorang istrinya dan rasa itu tidak ada terhadap yang lainnya.” (al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, mas’alah “Walau wathi’a Zaujatahu wa lam yatha al-Ukhra, fa laisa bi’ashin”)

Demikian pula yang dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi t dalam al-Majmu’ (18/119).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, suami tidak boleh melebihkan salah seorang dari dua istrinya dalam hal bagian giliran. Namun, jika ia mencintai salah satunya melebihi yang lain dan menggaulinya lebih banyak dari yang lain, tidak ada dosa bagi si suami. (Majmu’ Fatawa, 32/269)


Lebih Baik Menyamakan
Walaupun menyamakan jima’ tidak wajib, namun disenangi apabila mampu untuk menyamakannya/berlaku adil pula dalam hal ini. Hal ini dinukilkan oleh sejumlah ulama, seperti al-Imam Ibnu Qudamah t. Beliau menyatakan, apabila si suami bisa menyamakan urusan jima’ di antara istrinya, itu lebih bagus dan lebih utama karena lebih nyata dalam berbuat adil.

Demikian juga yang dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah, karena lebih sempurna dalam hal keadilan. (al- Majmu’ 18/119)


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam Berbuat Adil
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat adil terhadap istri-istrinya dalam urusan yang memang dituntut untuk adil. Adapun dalam urusan yang tidak dimampui oleh manusia, beliau pun tidak bisa menyamakannya, seperti rasa cinta beliau terhadap Aisyah x yang lebih besar daripada istri-istri beliau yang lain.

Namun, seperti yang telah disinggung di atas, dalam urusan yang dimampui hamba, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan dalam keadilan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membagi dengan adil tanpa melebihkan satu dari yang lain dalam hal giliran bermalam di antara istri-istri beliau, terkecuali Saudah bintu Zam’ah radhiyallahu ‘anha yang telah menghadiahkan gilirannya untuk Aisyah, demi mencari keridhaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang semula hendak menceraikannya, namun urung dengan ishlah yang dilakukan oleh Saudah berupa menggugurkan sebagian haknya asal tetap menjadi istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hendak safar, beliau mengundi di antara para istrinya. Siapa yang namanya keluar, dialah yang menemani beliau safar. Seandainya beliau mau, niscaya beliau akan selalu membawa Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam safar beliau, karena Aisyah sangat beliau cintai melebihi yang lain. Kenyataannya, beliau tidak melakukannya. Aisyah radhiyallahu ‘anha mempersaksikan hal ini dalam haditsnya yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya.

Saking inginnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berbuat adil, sampai-sampai saat sakit menjelang ajalnya, beliau tetap menggilir istri-istrinya semalam-semalam. Beliau datang dan menginap di rumah istri yang sedang mendapat giliran. Sampai di saat sakit beliau bertambah parah sehingga beliau tidak sanggup lagi berjalan, beliau meminta izin kepada istri-istrinya untuk beristirahat di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha dan dirawat di sana.

Para istri beliau yang salehah lagi penuh kelapangan hati pun mengizinkan. Ketika beliau yakin mereka ridha, beliau pun tinggal di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha, tidak di tempat istri yang lain, sampai ajal menjemput beliau. Aisyah radhiyallahu ‘anha menyampaikan,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَانَ يَسْأَلُ فِي مَرَضِهِ الَّذِي, مَاتَ فِيْهِ: أَيْنَ أَنَا غَدًا، أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ يُرِيْدُ يَوْمَ عَائِشَةَ، فَأَذِنَ لَهُ أَزْوَاجُهُ يَكُوْنُ حَيْثُ شَاءَ فَكاَنَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ حَتَّى مَاتَ عِنْدَهَا
Di saat sakit yang mengantarkan kepada wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau biasa bertanya, “Di mana aku besok, di mana aku besok?” Beliau menginginkan tiba hari giliran Aisyah. Istri-istri beliau pun mengizinkan beliau untuk berdiam di mana saja yang beliau inginkan. Lantas beliau tinggal di rumah Aisyah sampai meninggal di sisi Aisyah. (HR. al-Bukhari no. 5217)


Tidak Disalahkan Apabila Suami Lebih Mencintai Salah Satu Istrinya
Kita telah mengetahui adil yang dituntut dari seorang hamba dan adil yang tidak dimampui olehnya. Telah diterangkan juga, adil yang tidak dimampui adalah dalam hal cinta atau kecondongan/ kecenderungan hati. Sehingga tidaklah berdosa bila ada seorang suami yang memiliki sekian istri, namun kadar cintanya kepada istri-istrinya tidak sama, ada yang disenangi dan dicintaimelebihi yang lain.

Kita pun tahu bahwa Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia lebih mencintai Aisyah radhiyallahu ‘anha daripada istri-istri beliau yang lain. Salah satu hadits yang menunjukkan hal ini adalah hadits Amr ibnul Ash yang dikeluarkan dalam ash-Shahihain. ‘Amr mengabarkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusnya untuk memimpin pasukan Dzatu as-Salasil. Amr mengatakan bahwa dirinya mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, “Siapakah orang yang paling Anda cintai?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Aisyah.” Kataku, “Dari kalangan laki-laki?” “Ayahnya,” jawab beliau.

Namun, jangan sampai rasa cinta yang lebih tersebut mendorong seorang suami untuk berlaku tidak adil dalam hal yang dimampui di antara istri-istrinya. Jika jatuh dalam perbuatan tersebut, ia terkena ancaman hadits yang akan disebutkan di bawah ini.


Ancaman bagi Suami yang Tidak Berbuat Adil
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَ شِقُّه مَائِلٌ. 
“Siapa yang memiliki dua istri lantas condong kepada salah seorang dari keduanya (berlaku tidak adil) maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan sebelah tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud no. 2133, an-Nasa’i no. 3942, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud, Shahih an-Nasa’i, dan Irwa’ul Ghalil no. 2017 ) Dalam Aunul Ma’bud (“Kitab an Nikah”, bab - Fi ‘al-Qasmi Baina an- Nisa’)

dinyatakan hadits ini adalah dalil wajibnya suami menyamakan di antara istri-istrinya dan haram ia condong/ melebihkan salah satunya. Diterangkan pula dalam penjelasan hadits di atas bahwa yang tampak, hukum yang berlaku tidak hanya dibatasi pada dua istri, tetapi juga untuk orang yang memiliki tiga atau empat istri. Ia condong kepada salah satunya dalam perbuatan yang zahir (tampak), bukan dalam bentuk kecondongan hati, sehingga melebihkan istri yang dicondonginya tersebut dalam hal pemberian makan (nafkah), tempat tinggal, atau pergaulan yang baik (husnul ‘usyrah).

Orang yang seperti ini akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak sama dua sisi tubuhnya sebagai balasan dari perbuatannya yang tidak adil dengan melebihkan satu istrinya daripada yang lain. (Hasyiyah al-Imam as-Sindi ‘ala Sunan an-Nasa’i, 7/63)

Gambaran Keadilan Salaf
Ibnu Abi Syaibah rahimahullah meriwayatkan dari Muhammad ibnu Sirin , bahwa ia berkata tentang seorang lelaki yang memiliki dua istri, “Dibenci ia berwudhu di rumah salah seorang istrinya, sementara itu di rumah istri yang lain tidak dilakukannya.” (al-Mushannaf, 4/387)

Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah berkata tentang seorang lelaki yang mengumpulkan istri-istri (madu dengan madu), “Para salaf menyamakan perlakuan di antara istri-istrinya, sampai-sampai apabila tersisa sawiq (sejenis gandum) dan makanan yang bisa ditakar, mereka tetap membagi-bagikan di antara istriistri mereka; setelapak tangan demi setelapak tangan, jika memang sisa makanan tersebut tidak mungkin lagi ditakar (karena sedikitnya).” (Mushannaf Ibni Abi Syaibah, 4/387)

Syarat yang ketiga: Adanya kemampuan fisik dan materi atau nafkah, berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan perabotan rumah yang memang harus ada. Syariat mengisyaratkan ‘kemampuan’ ini kepada seseorang yang ingin menikah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ… 
“Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang memiliki ba’ah maka hendaknya ia menikah.…” (HR. al- Bukhari no. 5065 dan Muslim no.3384, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Ada dua pendapat ulama tentang makna ba’ah dalam hadits di atas, kata an-Nawawi rahimahullah, namun keduanya sebenarnya kembali pada satu makna,

1. Berhubungan badan/jima’
Dengan demikian, makna hadits adalah siapa di antara kalian yang mampu melakukan jima’ karena punya kesanggupan memenuhi keperluan nikah, hendaknya ia menikah.

2. Kebutuhan pernikahan
Jadi, makna hadits adalah siapa di antara kalian yang punya kemampuan memenuhi kebutuhan pernikahan, hendaknya ia menikah. (al-Minhaj, 9/177)

Kebutuhan materi yang diperlukan dalam pernikahan atau hidup berkeluarga mencakup makanan, minuman, dan tempat tinggal. Semua ini adalah nafkah yang wajib ditunaikan oleh seorang suami terhadap istrinya sesuai dengan dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan kesepakatan ulama. (al-Mughni, “Kitab an-Nafaqat”)

Demikian pula halnya apabila diterapkan dalam pernikahan poligami. Suami dituntut bertanggung jawab memberikan kebutuhan hidup para istrinya. Karena itu, apabila seorang lelaki tidak mampu menafkahi lebih dari satu istri, tidak halal baginya secara syariat untuk menikah lagi (berpoligami). Kewajiban menafkahi ini bertambah jelas dengan khutbah yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam haji wada’. Beliau mengatakan kepada kaum muslimin,

فَاتَّقُوْا اللهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ، وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلاَّ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُوْنَهُ، فَإنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan para istri, karena kalian mengambil mereka dengan amanat Allah  dan kalian menjadikan halal kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak memperkenankan seseorang yang kalian benci menginjak hamparan kalian. Kalau mereka lakukan apa yang kalian benci, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras dan mencederai. Hak mereka atas kalian adalah (memperoleh) rezeki dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Muslim no. 1216)

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang hak istri kepada suaminya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَ تَهْجُرْ إِلاَّ  فِي الْبَيْتِ 
“Kamu beri dia (istrimu) makan jika kamu makan dan memberinya pakaian bila kamu berpakaian. Jangan memukul wajah, jangan menjelekkan, dan jangan memboikotnya selain di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142, dinyatakan sahih dalam al-Jami’ ash-Shahih, 86/3)

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang wajibnya suami menunaikan kebutuhan primer seorang atau beberapa istrinya, yaitu makanan yang sesuai, pakaian, dan tempat tinggal yang layak, serta kebutuhan-kebutuhan lain yang menyertainya.  (asysyariah.com)


2. Poligami Dalam Islam
Islam adalah agama yang fitrah dan selalu menghadapi realita dengan mengarahkan dan menjauhkannya dari sikap berlebihan. Demi kepentingan manusia secara umum, baik secara pribadi maupun masyarakat, islam membolehkan lelaki muslim menikah lebih dari seorang wanita.

Syarat yang ditetapkan islam bagi seorang Muslim untuk berpoligami ialah adanya kepercayaan terhadap dirinya bahwa dia mampu berbuat adil antara isteri-isterinya dalam segala macam permasalahan rumah tangga. Kalau tidak yakin akan kemampuan dirinya untuk menuanaikan hak-hak ini secara adil dan seimbang, maka haram baginya menikah lebih dari seorang istri.

Allah berfirman :
"Jika kamu khawatir tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) seorang saja" (surat an nisa 3)
Sudah barang tentu tidak melakukan zinah diluar pernikahan karena zina hukumnya sangat berat.

Karena itu, poligami sebenarnya bukanlah sebuah hukum keharusan, melainkan sebuah pengecualian. Dalam Islam ada 5 kategori hukum :
1. Fardu: artinya kewajiban
2. Mustahab: artinya disunnahkan atau dianjurkan
3. Mubah: artinya diperbolehkan
4. Makruh: artinya tidak dianjurkan
5. Haram: artinya dilarang

Poligami dalam hal ini mestinya berada pada hukum yang paling tengah, yaitu : Mubah atau diperbolehkan. Jadi tidak berarti bahwa beristri lebih dari satu adalah lebih baik daripada beristri hanya satu saja.

Sahabatku...
Di antara manusia ada orang yang memiliki keinginan besar untuk mendapatkan keturunan, akan tetapi istrinya tidak dapat berproduksi karena mandul, penyakit, atau faktor lainnya. Ada pula yang kuat nafsu seksualnya, sedangkan istrinya tidak begitu bersemangat terhadap laki-laki atau sakit, atau masa haidnya begitu lama atau sebagainya..

Adakalanya jumlah wanita yang lebih banyak daripada kaum laki-laki, khususnya setelah terjadi peperangan yang hanya diikuti oleh laki-laki dan pemuda-pemuda pilihan, Bukankah kondisi semacam ini adalah merupakan kemaslahatan bagi masyarakat dan bagi kaum wanita sendiri jika mereka dimadu? Sehingga dengan demikian mereka tidak hidup menyendiri sepanjang masa tanpa mengalami kehidupan berumah tangga dengan mendapatkan ketenangan, cinta kasih, perlindungan, kenikmatan dan lain sebagainya..

Ada 3 kemungkinan yang akan terjadi sebagai akibat dari lebih banyaknya jumlah waita daripada laki-laki yang mampu menikah, yaitu :

1. Mungkin wanita itu akan hidup sendiri selamanya dalam kepahitan tanpa pernah menikah.
2. Mungkin mereka melepaskan kendali sehingga mereka hidup sebagai alat permainan kaum laki-laki secara haram.
3. Mungkin mereka akan menikah dengan lelaki beristri yang mampu memberikannya nafkah dan dapat bergaul dengan baik.

Tidak diragukan lagi bahwa kemungkinan terakhir inilah merupakan pemecahan yang adil dan obat yang mujarab, karena alternatif ini merupakan hukum yang ditetapkan islam:

ومن أحسن من الله حكما لقوم يوقنون 
"dan hukum siapakah yang lebih baik dari hukum allah bagi orang-orang yang yakin?" (al maidah 50)

Demikianlah masalah poligami sering di exploitasi oleh bangsa Barat Kristen untuk menjelek-jelekkan kaum muslimin, sementara mereka memperkenankan kaum laki-laki bermainn dengan perempuan-perempuan cabul dan wanita simpanantanpa ikatan dan perhitungan. na'udzubillah min dzalik..
Semoga bermanfaat adanya.


Poliandri
Lantas kalau Poligami dibolehkan dalan Islam, kenapa poliandri tidak diperbolehkan? Dilarangnya poliandri dalam agama Islam berlandaskan pada surat An-Nisaa’ ayat 22-23, yang menjelaskan wanita-wanita yang boleh dan tidak boleh dinikahi. Dan pada ayat 24 dijelaskan bahwa "tidak boleh menikahi seorang wanita yang bersuami".

Islam mendasarkan ajarannya pada persamaan hak antara pria dan wanita. Tetapi persamaan hak yang dimaksud disini bukanlah seperti yg sekarang banyak diteriakkan secara membabibuta oleh para pejuang feminis, yaitu secara mutlak dan total. Persamaan hak pria dan wanita dalam Islam adalah ditempatkan pada porsi yg semestinya sesuai kodrati yg berbeda antara pria dan wanita. Ada bidang-bidang tertentu dimana justru tidak pada tempatnya untuk menyamakan posisi pria dan wanita. Misalnya : kalau seorang karyawati berhak mendapatkan cuti hamil selama 3 bulan penuh, apakah seorang pria juga berhak menuntut hak yang sama? Tentu saja tidak. Secara umum hampir semua orang juga setuju pembebanan pekerjaan juga tidak semuanya dapat diberlakukan sama antara pria dan wanita, misalnya utk pekerjaan keras dan kasar spt kuli, tukang becak, beberapa cabang olahraga, militer, dan masih banyak lagi, juga tidak selayaknya disamakan porsinya antara pria dan wanita yang mempunyai perbedaan dalam kekuatan fisik, otot, dan psikis-nya. Sangat banyak contoh-contoh lain yang juga mendukung bahwa persamaan hak bukanlah berarti meniadakan perbedaan kodrati antara pria dan wanita.


Dalam hal ini, Poliandri dilarang dalam Islam karena beberapa hal sebagai berikut :
1. Kejelasan benih dan garis keturunan. Bila seorang pria berpoligami, maka anak-anaknya dari istri yang manapun tetap mempunyai status kejelasan dalam asal benih dan garis keturunannya. Hal yang sama tidak dapat terjadi apabila yang berpoligami (poliandri) adalah wanitanya. Akan sangat sulit buat menentukan si anak mendapatkan benih dari ayah yang mana, dan siapa ayahnya yg sebenarnya sbg garis keturunan bila si ibu berpoliandri. Dalam banyak kasus baik sehubungan dg masalah sosial budaya ataupun masalah kejiwaan si anak, hal itu bisa mengakibatkan kekacauan tatanan hidup sosial di lingkungannya dan gangguan mental yg melekat pada si anak sampai dewasa nanti. Hal ini juga sudah diakui oleh dunia psikologi. Memang pada masa sekarang kita sudah dapat menentukan garis keturunan seorang anak melalui test DNA. Tetapi test itu belum umum di masyarakat, mahal, dan menuntut konsekuensi psikologis dari orang tuanya. Lagipula teknologi itu baru ditemukan pada abad 20, lantas bagaimana dengan sekian belas abad yang sebelumnya? Orang akan kesulitan untuk menentukan garis keturunan seseorang bila menerapkan parktik poliandri.

2. Seorang pria lebih mempunyai jiwa poligami secara alamiah daripada wanita. Hal ini sudah dibuktikan dalam berbagai penelitian yg pernah dilakukan, dan bahkan ada penelitian terbaru yang menyatakan bahwa kecenderungan untuk berpoligami itu sudah ada dalam gen bawaan setiap pria. Sementara secara umum pandangan asli dari kebanyakan wanita adalah tidak adanya kecenderungan alami untuk berpoligami. Banyak angket-angket yang terbuka maupun yang tertutup juga mengindikasikan hal yang sama, dimana para pria yang menyatakan cenderung punya keinginan berpoligami adalah jauh lebih besar daripada yg wanita. Mengenai gen bawaan untuk berpoligami, ada sebuah lelucon yg juga masih sedikit logis, yaitu bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk pria, bukan pria diciptakan dari tulang rusuk wanita, dan tulang rusuk itu jumlahnya banyak, jadi sudah selayaknya beberapa wanita adalah milik seorang pria, bukan sebaliknya..

3. Seorang pria yang berpoligami apabila dapat melakukan manajemen rumah tangga dengan baik, maka tidak akan ada masalah dengan kehidupan sexualnya. Lain halnya dengan wanita yang berpoligami. Wanita yang punya beberapa suami sangat mungkin akan mempunyai masalah dalam kehidupan seksualnya bahkan kesehatan seksualnya karena kecenderungan kemungkinan adanya aktivitas seksual pada saat yang bersamaan. Hal mana tidak akan terjadi pada suami yang punya beberapa istri (maaf, untuk point yang ini saya tidak bisa menuliskan detail karena alasan kesopanan).

4. Alasan-alasan yag diuraikan di atas dapat dengan mudah kita temukan, tetapi mungkin masih banyak lagi alasan mengapa "Allah SWT Melarang Pernikahan Poliandri".

KESIMPULAN
Jadi beberapa kesimpulan dari uraian diatas adalah :
1. Ajaran Islam hanya membolehkan poligami terbatas dengan aturan-aturan tertentu sebagai “jalan keluar” dalam kondisi-kondisi sosial tertentu pula yang dalam kenyataannya kadang-kadang memang membutuhkan diterapkannya poligami

2. Hanya di Al-Qur’an terdapat pernyatan tegas untuk menikah hanya dengan satu orang wanita saja, sedangkan dalam kitab suci agama-agama selain Islam, tidak terdapat larangan tegas untuk tidak berpoligami, malah banyak sekali contoh-contoh praktik poligami tidak terbatas dalam kitab-kitab tersebut.

3. Di dalam agama-agama selain Islam, larangan poligami bukan berasal dari dasar ajaran agamanya dan kitab sucinya, tapi berasal dari keputusan para pemuka-pemuka agamanya. Sedangkan Islam tidak melarang penuh praktik poligami, karena kenyataan pada kitab sucinya memang tidak dilarang, hanya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Dan sikap umat Islam terhadap kitab sucinya tidak pernah berubah, bahwa Al Qur’an adalah dasar hukum nomor satu. Ketentuan dari pemuka-pemuka agama Islam untuk suatu permasalahan hanyalah beberapa tingkat kekuatan hukumnya di bawah Al Qur’an dan tidak boleh bertentangan. Di lain pihak tampaknya di agama-agama lain hal tersebut tidak terlalu menjadi masalah, terbukti aturan pelarangan total terhadap poligami ternyata bukanlah bersumber dari ajaran dasar agamanya atau kitab sucinya, tapi hanya berasal dari ketentuan para pemuka agamanya. Hal yang sama misalnya juga terjadi seperti pada kasus pengangkatan pastur yg penganut homoseksual di Amerika, juga dengan menikahkan pasangan sesama jenis di gereja-gereja Amerika dan Eropa yang pernah beberapa kali disiarkan di berita TV, dan beberapa kasus lain yang semuanya sebenarnya tidak didukung oleh kitab sucinya tapi tetap disahkan oleh gereja-gereja yang bersangkutan (kisah penghancuran Sodom dan Gomorah dalam kitab Perjanjian Lama Kristen, adalah karena Tuhan melaknat penduduknya yang mempraktekkan homoseks – baca : Kitab Kejadian 18-19).

4. Alasan-alasab dalam kenyataan kehidupan sosial masyarakat dunia dari masa ke masa ternyata sangat relevan dengan kebutuhan dibolehkannya pernikahan poligami, yang menunjukkan bahwa poligami sebagai sebuah “jalan keluar” kadang-kadang memang diperlukan. Dan Tuhan sebagai pengatur kehidupan manusia jelas mengetahui hal itu, maka sebenarnya ajaran tentang poligami dalam Al-Qur’an sudah sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri, tentu saja apabila hal itu dijalankan dengan benar sebagaimana mestinya, bukan untuk disalahgunakan.

5. Poliandri tidak dibenarkan dalam Islam adalah untuk kepantasan dan kebaikan si wanita sendiri beserta keturunannya yang sudah seharusnya lebih dilindungi dan mendapatkan kejelasan tentang asal benih dan garis keturunannya.

6. Sebagai umat yg mempercayai Al-Qur’an sebagai ajaran dan hukum yg berasal dari Tuhan, umat Islam sudah semestinya untuk menerima ketentuan yg diatur oleh Al-Qur’an, baik ia pria ataupun wanita. Gerakan feminis belakangan ini yang semakin gencar memperjuangkan hak-hak wanita dan menyerang aturan poligami Islam, semestinya bisa menyadari bahwa unsur-unsur yang dianggap merendahkan dan menghina wanita dalam poligami Islam tidaklah pada tempatnya, karena yang selama ini menimbulkan kesan jelek adalah para pelakunya yang tidak dapat menerapkan poligami dengan baik, dan bukan poligaminya itu sendiri. Sebab poligami bila diterapkan dengan baik dan benar, ternyata juga tidak bermasalah. Dan banyak contoh seperti itu dalam masyarakat. Sitoresmi, seorang selebriti yang baru-baru ini ditampilkan dalam sebuah acara talk show di TV sebagai seorang “korban poligami” diluar dugaan menyatakan bahwa dirinya dan keluarganya ternyata tidak punya masalah yang berarti dengan kehidupan poligaminya. Ia mengatakan : “Ilmu itu ada banyak, salah satunya adalah ilmu poligami. Kalau ada orang yang melakukan poligami janganlah anda serang, karena belum tentu ia bermasalah seperti yang anda kira. Kalau anda mengira pasangan poligami itu selalu bermasalah sedangkan pelakunya sendiri tidak, maka semestinya anda berpikir, oh.. ternyata ilmu saya belum sampai kesana..”.

7. Sebagai umat muslim yang hidup dijaman modern, dimana sudah semakin sedikit orang yang berpoligami, tidaklah salah kalau kita berpendapat bahwa yang paling baik dan adil itu ya dengan menikah monogami, karena memang spt itu juga yg tersirat dalam Al-Qur’an. Tetapi kita juga tidak boleh menyingkirkan sama sekali pembolehan berpoligami sebagai sebuah “jalan keluar” (seperti juga perceraian yang dibenci Tuhan tapi halal sebagai jalan keluar terakhir dalam mencari kebahagiaan berumah tangga), karena menyingkirkan hal tersebut bisa berarti tidak mempercayai isi kitab suci yang berisi kata-kata Tuhan dan berisi hukum-hukum untuk kebaikan manusia itu sendiri. Cukup menyedihkan saat melihat para muslimah pejuang feminis berteriak berapi-berapi di TV menentang poligami, termasuk dengan kata-kata kasar semacam (maaf) “bullshit” untuk menanggapi poligami yang diatur oleh agama. Bahkan diantara mereka yang berteriak-teriak itu ada yang mengenakan jilbab layaknya seorang muslimah sejati yang semestinya bisa lebih memahami lagi permasalahan poligami dengan pikiran jernih, tidak hanya menonjolkan ego kewanitaannya yang sempit saja dan terbawa arus pendapat pejuang feminis Barat yang sesungguhnya tidak mengetahui permasalahan sebenarnya.

8. Sedangkan bagi sohib-sohib non muslim, janganlah isu poligami yang sedang memanas itu membuat anda terpengaruh pada pendapat golongan-golongan tertentu untuk berpandangan jelek pada aturan poligami yg diterapkan dalam agama Islam, apalagi setelah membaca uraian saya sebelumnya tentang poligami di agama-agama selain Islam, termasuk sampai ikut-ikutan menghujat tanpa pengetahuan yang memadai bagaimana sesungguhnya posisi poligami dalam ajaran Islam maupun dalam ajaran agama anda sendiri. Biarlah hal itu menjadi bagian dari kehidupan pribadi masing-masing, karena umat Islam meyakini apabila poligami itu dapat dilakukan dengan baik sesuai porsi dan aturan yang ada, juga tidak akan menimbulkan masalah. Pernyataan dari Sitoresmi sebagai selebriti “korban” poligami seperti yang diungkapkan sebelumnya hendaknya bisa menjadikan pemikiran bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap poligami dan para pelakunya.

9. Bagaimanapun poligami masih jauh lebih baik dibanding sistem hidup yang diterapkan di Barat yang notebene mayoritas non muslim selama ini, dimana orang menikah monogami hanyalah formalitas saja, sedangkan diluar itu mereka juga melakukan “poligami” tidak terbatas (pria dan wanita) dengan perselingkuhan pada banyak pasangan yang sudah sangat lazim dalam masyarakat di sana yang membuat sistem hidup mereka menjadi kacau balau. Apakah mau ditiru oleh budaya bangsa timur khususnya Muslim di Negeri kita.

Demikian uraian saya tentang poligami. Semoga bisa menambah wawasan yang berguna bagi kita semua. Segala saran dan kritikan yang membangun adalah tambahan ilmu buat saya.
Riwayat At-Tarmizi, Abu Daud dan Ibnu Majah Nabi SAW bersabda, sunnat untuk kita berkata: 
"Baraka Allahu Lakuma wa Baraka alikuma Wa jamaah baina kuma fee khair."
Mudah-mudahan Allah SWT memberkatkan bagi kamu berdua, dan Tuhan berkatkan atas kamu daripada langit, dan semoga Allah SWT himpunkan kamu sebagai suami isteri dalam kebajikan.

Begitu juga yang berpoligami bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya dan menambah keimanan dan dakwah juga sebagai suami isteri dalam kebajikan dunia dan akhirat.

Referensi utama :
-  Beberapa Blog
- Islam Menjawab Gugatan, Dr. Zakir Abdul Karim Naik, Mei 2004, India
- Abrahamic Faiths : Judaism, Christianity, and Islam, Similiarities and Contrasts, Dr. Jerald F. Dirks, 2004, USA.
- Al-Qur’an & terjemahannya, Departemen Agama RI
- Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.